Rabu, 22 Januari 2020

Sialnya Hariku


Aku membuka mataku, kulihat jam di layar hp telah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Hmmmm… malas sekali rasanya bangkit dari tempat tidur. Kucoba mengusap-usap mata agar kantukku hilang, kumelangkah menuju kamar mandi dan secepat kilat aku membersihkan diri. Karena dinginnya air di rumahku mengalahkan dinginnya air di daerah pegunungan.

(“Kalau bukan karena dompet aku tidak akan bangun sepagi ini! “)

Pukul 06.00 tepat aku menyalakan motor tua milik ayahku. Entah mengapa aku lebih menyukai motor bobrok ini dibanding motor bagus yang telah dibelikan ayah padaku semenjak aku masuk di STM. Motor yang sudah sangat tua ber-merk  Sanex ini sebenarnya sudah mati masa berlakunya, penutup mesinnya juga sudah hilang. Aku sering memakainya di kampung-kampung saja. Namun kali ini aku ingin memakainya ke rumah teman yang jaraknya cukup jauh dari rumahku untuk mengambil dompet yang ketinggalan disana ketika aku main ke rumahnya.

“Dionn mau kemana kamu pagi-pagi begini!?” Tanya ibuku sambil berteriak keras, hampir seluruh kampung mendengar teriakannya itu.

“Ke rumah temen bu, mau ngambil dompet” Jawabku tenang sambil mencoba menyetater motor tua itu.

“Kog pake motor ayah? Helmnya mana?. Ntar kalau ada polisi gimana coba.”

“Ibu bawel ah, sepagi ini belum ada polisi kog, kalaupun ada aku kan bisa lewat jalan kampung sebelah, sudah ah aku pamit dulu ya. Assalamualaikum”

Tidak lagi kutanggapi ucapan ibuku, aku langsung meluncur menuju rumah temanku. Karena hari masih sangat pagi, kucoba melintasi jalan raya. Betapa sepinya jalanan, tidak seperti biasanya yang ramai, apalagi jika polisi berjaga. Banyak pengendara motor yang terkena tilang dan harus kehilangan beberapa lembar rupiah.

(” Ah… dasar polisi, kalau lagi ga ada uang ya gitu kerjaannya”)

Sampai juga di rumah temanku, ku parkirkan motor dan mengetuk pintu rumahnya. Temanku Alan keluar membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk.

“aku ga bisa lama-lama lan, ntar keburu siang trus ada polisi bisa mati aku” Ucapku pada Alan bermaksud supaya dia segera mengambilkan dompetku.

“kan bisa lewat jalan kampung tho yon, yaudah bentar tak ambilin. Semoga masih ada hehehe”.

(“huu bocah!, mentang-mentang bukan miliknya!!”)

Sudah lima menitan aku duduk menunggu Alan keluar dengan  membawa dompetku, tapi tak kunjung datang juga.

(“Ini anak ngambil dompet kaya mau mindahin gunung aja”)

Beberapa detik kemudian dia keluar membawa dompet dan menyerahkannya kepadaku.

“maaf ya bro, lupa naruh.. hehehe”

“dasar, kalau sampai ilang, gantinya lima kali lipat dari isinya tau!”

“banyak amat, ya udah.. kan udah ketemu nih, sono pergi. Keburu ada polisi lhoh”

“oh aku diusir nih ceritanya, okeh..”

“hehehe bercanda kog”

“yaudah pamit dulu, salam buat ortu”

“salam balik katanya”

“hmmm… terserah, belum juga kamu sampaiin kepada mereka”

“pasti salam balik kog, tenang aja lah”

“yaudah”

Kumasukkan dompet kesayanganku itu kedalam saku, kemudian menghampiri motor yang juga merupakan kesayanganku itu. kembali ku setater dan meluncur pergi dari rumah si Alan. Karena sudah agak siang, aku tidak berani melewati jalan raya, kuputuskan untuk melewati gang kampung agar aman sampai rumah. Dengan santai aku mengendarai motor melewati setiap rumah-rumah yang ada di kampung itu. Kulihat ada janur kuning melengkung sebelum pertigaan, kucoba saja masuk ke gang dan betapa sialnya ternyata ada teratak dan dekorasi untuk pernikahan dan jalannya ditutup. Segera ku lihat jam di layar hpku, jam tujuh tepat dan kuharap polisi belum berdatangan di jalan raya yang akan kulewati. Aku putar motorku, secepat mungkin aku mengendarainya mengejar waktu dan keamananku, karena aku tidak membawa STNK, dan helm, lagian aku juga belum memiliki SIM. Dengan rasa was-was aku melihat ke kanan dan ke kiri, siapa tahu polisinya sedang ngumpet biar ga ada yang lihat terus banyak korban deh. Pikiranku sudah ga karuan, selalu saja menyalahkan polisi, padahal jelas-jelas kalau tertib tidak akan ditilang kog. Tapi memang akunya yang tidak patuh, harus gimana lagi kalau seandainya memang aku yang jadi korban, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah polisi.

Hampir sampai di perempatan, kulihat dari jauh lampu lalu lintas masih menyala hijau. Kutambahkan kecepatanku agar tidak mendapatkan lampu merah. Sayang sekali, padahal hampir saja aku melintasi perempatan itu, tapi lampu sudah berganti warna menjadi merah. Dengan terpaksa aku harus berhenti, sambil memasang wajah takut akan pantauan polisi yang entah sampai saat ini aku belum melihatnya. Lampu hijau sudah menyala, ku-gas kembali motor tua itu melewati perempatan yang kutakut-takuti sedari tadi.

(“untung saja ga ada polisi yang lagi bertugas, coba kalau tadi ada. Tidak bisa kubayangkan”)

Di sepanjang jalan aku cengengesan sendiri, mungkin polisi-polisi itu belum datang atau bangunnya kesiangan. Jadi tidak bisa menjalankan tugas seperti biasanya, karena keasyikan tertawa sendiri di jalan, motorku hampir menabrak tiang listrik. Dengan mendadak ku rem motorku, bagian belakang motorku naik ke atas menyebabkan badanku condong ke depan dan kepalaku yang tidak dilindungi oleh helm berbenturan langsung dengan tiang itu. Dunia seolah sedang berputar. Pusing sekali rasanya, tapi dengan segera ku menyadarkan diri. Untung tidak parah, hanya mungkin akan tumbuh benjolan di kepalaku. Karena banyak orang yang melihat kejadian ini dan tidak ada satupun yang membantuku, maka dengan segera ku berdirikan posisi motorku yang sudah ambruk di tanah dan bersikap seolah-olah aku baik-baik saja. Sebagai seorang lelaki yang tangguh, aku tidak boleh kelihatan lemah di hadapan banyak orang, meski kepalaku rasanya sangat sakit sekali. Dengan tubuh gemetar ku setater kembali motorku dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Ku kendarai motor dengan sakit di kepala dan rasa malu yang masih menyelimutiku karena tragedi tadi. Kini masalah baru muncul kembali, aku berpapasan dengan polisi yang mungkin baru berangkat bertugas. Dari kejauhan ku berdoa semoga dia tidak melihat aku dan motorku ini. Setelah semakin dekat, polisi itu hanya melintasi keberadaanku. Tidak ada tanda-tanda kalau motorku ini akan dijadikannya korban tilang. Hatiku kembali lega, dan senyum di wajahku sudah bisa mengembang. Tiba-tiba kumendengar suara klakson mobil dari belakang, perasaan jalurku sudah berada paling tepi kiri. Kuhiraukan saja, mungkin bukan klakson untukku. Tapi klakson mobil itu kembali berbunyi dan seolah suaranya tambah keras menandakan mobil itu berada semakin dekat denganku. Dengan jengkel kutoleh kebelakang, mencoba memastikan siapa yang menganggu perjalananku. Masya Allah, betapa kagetnya aku melihat mobil polisi tepat dibelakangku, dengan seorang polisi yang setengah badannya berada di luar jendela mobil dan menunjuk-nunjukkan jarinya ke arahku. Harus bagaimana ini, aku kebingungan sendiri. Kalau seandainya aku berhenti, aku akan di tilang, tapi kalau aku tetap jalan, mereka akan mengejarku sampai dapat.

(“Ya Allah, betapa Engkau memberi sial yang berurutan kepadaku ini, segeralah hentikan sial ini”)

Hatiku terus saja mengucapkan do’a agar si polisi tidak lagi mengejarku, tapi kurasa itu hanyalah sia-sia. Akhirnya dengan berat hati aku harus berhenti. Ku tepikan motorku dan berhenti di pinggiran jalan. Satu polisi keluar dari mobilnya dan menghampiriku. Tubuhku semakin bergetar, tidak tenang dan tidak bisa tenang kalau polisi ini masih ada di hadapanku.

“e e e, ada apa ya pak polisi?” tanyaku ketakutan pada polisi itu.

“anda tahu kesalahan anda?”

“kesalahan saya yang mana ya pak?”

“anda ini, sudah tidak memakai helm, motor juga sudah mati, masih ga tahu letak kesalahannya?!”

“maaf pak, saya terburu-buru tadi, jadi ga sempet bawa helm”

“terburu-buru gimana, saya lihat tadi kamu mengendarai dengan begitu santai. Sekarang saya mau lihat STNK dan SIM anda”

“oh.. itu pak..ee.. sebenarnya saya ga bawa STNK, dan saya belum punya SIM pak”

(“siallll!! Kena juga akhirnya, lengkap sudah kesialan hari ini”)

“belum punya sim kog sudah berani naik motor!, sekarang ikut saya ke kantor polisi!”

“janganlah pak, jangan ke kantor polisi. Kita damai aja gimana pak?” Pintaku memelas pada pak polisi agar mau diajak berdamai karena seingatku aku masih menyimpan uang di dompet yang baru saja ku ambil di rumah Alan.

“damai gimana maksudmu?!”

“gini pak, saya ada beberapa uang di dompet nih” Dengan percaya diri ku keluarkan dompetku dan membukanya di hadapan polisi. Tapi yang ku lihat bukanlah lembaran uang milikku, tapi sebuah pesan yang ditulis di kertas putih “KU PINJAM DULU YA UANGMU #ALAN”. Tulang dan persendianku semakin lemas, ku menatap wajah pak polisi dengan ragu. Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa.

“kenapa diam? Damai gimana maksud anda. Sudah, sekarang anda ikut saya ke kantor polisi.”

Pak polisi itu menggiringku masuk ke dalam mobil dan menyuruh temannya yang masih ada di dalam mobil keluar untuk membawa motorku. Dengan pasrah aku patuh begitu saja, tidak bisa berkata-kata maupun berbuat apa-apa. Dalam hatiku aku mencoba mengingat nasihat ibu tadi pagi. Dan yang kusalahkan saat ini adalah si Alan yang benar-benar sialan dan diriku sendiri yang tidak mematuhi tata tertib lalu lintas. Aku benar-benar kapok dan merasa sial. Harusnya aku bisa lebih tertib, sehingga perjalanku akan terasa aman dan selamat. Tidak seperti hari ini!

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar