“Hhhh…”
aku menghela nafas, kupandangi sejenak foto pemuda yang sudah membuat hati ini
merasa gundah. Sudah hampir lima tahun aku menyimpan rasa kepada pemuda itu,
dan selama itu juga aku tidak pernah mendapatkan hatinya. Dia adalah teman
sekolahku disaat aku masih duduk di bangku SMP. Dulu aku tidak pernah tahu
bahwa hatiku akan terpaut sangat cepat seperti sambaran kilat. Bahkan aku tidak
tahu watak yang dimiliki pemuda itu, Rifa namanya. Aku masih ingat dengan jelas
kali pertama aku melihat wajahnya. Ekspresi yang datar dengan tatapan teduhnya,
dan gingsul yang menambah pesona si Rifa ini.
Aduhai.. mengapa bukan aku dulu yang mengenalnya,
mengapa justru sahabat dekatku yang tahu tentang diri Rifa, oh mengapa?.
“Eh Lan tau ga,
tadi pagi aku berpapasan dengan Rifa lagi lho.” celoteh Fitri di pagi hari
memecahkan kantuk yang masih menggelayutiku.
“Rifa mulu yang
kamu ceritain, nggak ada yang lain aja sih. Lagian aku juga nggak tau orangnya.
Aku tidak bisa menikmati ceritamu itu.” jawabku malas masih dengan nada orang
bangun tidur.
“Ntar kalau
orangngya lewat di depan kita, aku kasih tahu dehh, cakep kok.”
“Hmm iya iya
percaya.”
Bosannya
minta ampun punya sahabat super alay dan
cerewet seperti si Fitri ini, tapi
meskipun begitu ia tetap sahabat yang
baik dan penuh perhatian. Apalagi kalau
pas ada maunya, wajah sok manis
yang menjadi andalan untuk merayuku agar kemauannya dapat terpenuhi langsung
dipasang sedemikian rupa. Wajar saja dia adalah anak tunggal dari keluarga
kaya. Manja adalah watak dasarnya, namun masih ada sifat mandiri terselip di
dalam dirinya.
Teeet….. teeeettt….!!
Bel
istirahat berbunyi keras, cukup untuk membangunkan mata-mata yang tengah
berjuang menahan rasa kantuk dari bosannya menerima pelajaran. Semua murid
berhamburan keluar kelas untuk menghilangkan rasa penat yang sudah singgah
beberapa jam lalu. Fitri mengajakku pergi ke kantin untuk membeli es teh manis.
Tak ada yang bisa menduga, hari itu adalah hari dimana aku melihat wajah Rifa
untuk pertama kalinya. Mengetahui Rifa sedang berjalan di depan kami, Fitri
langsung membisikiku dan memberitahu akan sosok Rifa. Aku melihat orang yang
dimaksud itu. Deg… jantung ini berdetak
tak karuan, tak sengaja mataku dan
mata Rifa bertatapan. Kali pertamanya aku merasa bahwa dada ini berdebar begitu
cepat, segera kukondisikan sikapku karena aku tidak mau Fitri mengetahui apa
yang sedang kurasakan. Aku tersenyum simpul pada Fitri. Memberi isyarat kalau
aku sudah tahu orang yang dimaksud.
Oh Rifa.. andai kamu tahu aku menyimpan rasa ini
sendirian, tak ada satu orang yang mengetahuinya.
Aku
tak sanggup berbicara masalah cinta, dengan siapapun itu. Namun rasa itu selalu
menggangguku. Membuatku sulit tidur karena harus memikirkan rupamu yang menawan.
Membuatku sulit berjalan ketika aku harus berpapasan denganmu. Berhari-hari aku
harus menerima cerita yang membuatku cemburu, sahabatku sendiri mencintaimu,
dan aku sadar dialah yang berhak karena dia yang mengenalmu lebih dulu
dibanding aku. Naïf rasanya mengatakan kalau aku mengenalmu, bahkan bercakap
padamu saja belum pernah kurasakan.
“Fit, antar ke
kamar mandi yuk.” ajakku pada Fitri teman sebangkuku.
“Males ah, pergi
sendiri ya.”
“Hmm.. ya udah.”
Akupun
beranjak pergi ke kamar mandi sendirian, sialnya kamar mandi dekat kelas sedang
penuh. Kuputuskan untuk pergi ke kamar mandi depan kantor guru. Dari jauh
kulihat Rifa sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya tepat di depan kantor. Langkahku semakin ragu, tubuhku
bergetar, pelan, semakin pelan langkah ini, dan Deg.. Rifa melihatku dari kejauhan. Tingkahku berubah menjadi aneh,
aku clingukkan mencari tempat dan
kutemukan lorong bawah tangga untuk bersembunyi dari Rifa. Kenapa aku harus
bersembunyi? Entahlah saat itu aku merasa aku harus bersembunyi dari pandangan
mata Rifa,karena kalau tidak sikapku akan berubah tambah aneh. Aku masih ingat
jelas kejadian itu, malu.. dan mungkin itu hal yang konyol untuk dikenang
kembali. Lagi-lagi aku tidak bisa melupakan sosok Rifa yang selalu menggetarkan
jiwa. Setelah beberapa menit, tubuhku kembali normal dan tidak lagi bergetar,
aku putuskan saja untuk kembali ke kelas dengan seribu langkah aku lari menuju
kelas.
“Kenapa
lari-lari Lan?”
“Oh, tadi aku
melihat ada Bu Dewi, jadi aku lari deh.” akupun berbohong pada Fitri.
“Hahaha.. untung
nggak jadi korbannya kamu.”
Bu
Dewi adalah guru yang suka sekali mengomentari muridnya yang tidak rapi. Entah
itu bajunya, sepatunya, rambutnya, atau apalah. Beliau tak segan-segan memarahi
anak didiknya walau itu di depan banyak orang, jadi banyak yang takut saat
bertemu dengannya.
Tidak bisa seperti ini, harus ada orang yang tahu
mengenai perasaanku, dan itu tentu bukan Fitri.
Sepulang
sekolah aku menemui Orin teman dekatku dari kelas tujuh hingga sekarang. Aku
berniat untuk mencurahkan isi hatiku padanya.
“Rin, aku mau
curhat nih.”
“Curhat apaan?
Tumben banget kamu curhat, lagi kesambet apa?”
“Serius nih.”
“Iya-iya aku
dengerin kok.”
Saat
aku akan memulai berbicara, aku melihat Rifa keluar dari kelas temanku itu.
“Eh.. emm dia
satu kelas denganmu ya?” tentu yang kumaksud adalah Rifa.
“Oh.. iya Rifa
kan? Kamu kenal? Sebenarnya aku menyukainya loh, dia itu anak yang sholeh dan
pintar dalam hal hitung menghitung. Nilai matematika dan fisikanya saja sangat
bagus. Aku kagum padanya. Sayang sekali dia orangnya cuek, tidak pernah respek
dengan yang namanya perempuan. Sebel deh.”
“Oh.. jadi kamu
menyukainya?”
“Hehe, iya
jangan bilang siapa-siapa, aku sering smsan dengan dia, membahas bola atau
apalah yang ia sukai dan aku juga menyukainya.”
“Oh begitu ya.”
“Iya, tadi kamu
mau curhat apa, kok jadi aku yang curhat sih.”
“Apa ya? Ah kamu
sih banyak cerita, jadi aku lupa mau curhat apa nih.”
“Ah nggak asyik
ah pake acara lupa segala.”
“Ya, mau gimana
lagi, kapan-kapan aja kalau gitu. Aku pulang dulu ya.”
Tidak kusangka banyak sekali yang menyukaimu, rasa
yang aku punya ini apakah penting bagimu? Aku rasa tidak. Kau adalah permata
dan aku hanya serpihan debu yang tak pantas disandingkan denganmu. Hingga saat
ini aku masih saja merasa seperti itu.
Di
jalan, aku melihat kamu sedang mengayuh sepeda jengki tua, tepat di depanku.
Menatapmu dari belakang saja itu sudah hal yang sangat menyenangkan. Kalau saja
kita kenal, aku bisa mengobrol lama denganmu.
Dari
dulu aku selalu yakin kalau rasa ini akan tersampaikan kepadamu, entah sampai
kapan dan detik ini juga aku merasa kalau rasa itu tidak akan padam dari
hatiku.
Mungkin
Tuhan mulai kasihan padaku, seolah ia memberiku kesempatan untuk lebih dekat
denganmu. Masih ingatkah kamu? Kita dulu satu ruangan saat try out dan ujian.
Aku berada di depan ujung kiri, dan kamu di ujung kanan. Aku yang memulai
lembar presensi dan kamu yang akan mengumpulkannya ke meja pengawas. Sesekali
saat ujian berlangsung, aku mencuri pandang padamu. Hingga aku tertangkap basah
olehmu. Akupun pura-pura meminta jawaban padamu. Tentu dengan berhati-hati
supaya pengawas tidak mengetahuinya. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk
berinteraksi denganmu. Aku selalu bertanya padamu, begitu sebaliknya kau
padaku. Aku senang sekali Tuhan, kala itu aku bisa merasa lebih dekat denganmu
meski hanya ketika di dalam ruangan.
Kelulusan,
saat dimana aku sudah bisa melupakan sejenak rasaku padamu. Aku fokus pada
sekolahku di tingkat SMK. Aku bisa melupakanmu sejenak, tidak terlalu berharap
dan mulai terbiasa. Menjalani hari-hariku layaknya perempuan normal yang tidak
sedang dilanda rasa cinta. Aku mengikuti ekstra karate untuk menambah kegiatan.
Teman baru dan pengalaman bisa kudapatkan di sana. Aku berteman dengan banyak
orang, dan mereka adalah orang-orang baik. Aku satu sekolah dengan Orin, namun
kami berbeda jurusan. Aku mengambil jurusan Akuntansi, sedang dia di perbankan
syariah. Meski begitu kami tetap berteman baik, bahkan lebih baik dari
sebelumnya. Kami adalah sahabat dekat yang saling berbagi keluh kesah.
“Wulannnn..”
“Eh Orin, ada
apa?”
“Ntar pulang
bareng ya, tunggu aku di kantin. Oke?”
“Oh, siap deh.”
Aku
dan Orin pulang bersama, menaiki sepeda dan mengobrol sepanjang jalan. Hemm begitu indah ya sebuah
persahabatan.
Suatu
hari Orin mengatakan padaku kalau dia semakin sering smsan dengan Rifa,
mendengar curhatan itu kini rasa suka kepada Rifa datang kembali menyergapku.
Ahh kenapa Orin harus membahas si Rifa.
Rasa
yang sudah mulai pudar, kini mulai terlihat kembali. Hanya karena nama “Rifa”
sering kudengar dari mulut sahabatku Orin. Mendengar namanya saja aku sudah
berdebar-debar, tapi aku hanya bisa apa? Sebagai sahabat yang baik aku harus
mau mendengarkan curhatannya kan? Begitulah tugas seorang sahabat.
“Eh Lan, bete
nih.” Orin menggerutu cemberut.
“Emang ada apa
sih Rin?” aku meletakkan teh manis di meja dan mulai mendengarkan keluhan dari
sahabatku ini.
“Itu si Rifa.”
wajah Orin Nampak sangat kecewa dan kesal.
Ehh ? Rifa? Ada apa dengannya? Hemmm.. Rifa Rifa.. laki-laki
seperti apakah dirimu itu? hingga membuat banyak hati jatuh padamu. Termasuk
aku ini hehe.. dasar cinta, datangnya tiba-tiba eh perginya kok susah ya.
“Kenapa si
Rifa?” tanyaku penasaran.
“ternyata Rifa
sudah punya pacar lan, hwaaa rasanya pengen nangis sambil teriak-teriak!”
tangan Orin memukul-mukul meja kantin walau tidak begitu keras, hanya sebagai
lambang bahwa dia sedang kesal saat itu.
Aku
melongo kaget, seolah tidak percaya dengan apa yang dia katakan.
“Apaaa…???,
masak? Yang bener aja, katamu dia laki-laki yang sholeh? Kok punya pacar segala
sih?”
“Nah itu,
awalnya aku juga tidak percaya, tapi tidak mungkin seorang Rifa berbohong.
Parahnya, perempuan yang beruntung itu satu sekolah sama kita.”
“Satu sekolah?
Kamu tahu orangnya yang mana?”
“Tidak, aku hanya tahu kalau namanya itu
Fatma, dan dia mengambil jurusan pemasaran,”
Beruntung sekali si Fatma ini, dari beberapa hati,
eh dialah yang bisa menggenggam hati sang pangeran.
“tapi kata si
Rifa, hubungannya akhir-akhir ini sedang tidak baik dengan Fatma.” Orin
menambahkan.
“Lho, kenapa?”
“Fatma mau
dijodohin sama orang tuanya, hahaha.. aneh-aneh saja. Ini zaman apa masih ada
acara begituan, iya kan?”
Apakah ini artinya aku masih diperbolehkan berharap
kepadamu Rifa? Ah.. entahlah..
“Oh begitu ya..
yee kamu masih punya kesempatan dong.”
Benar-benar munafik ucapanku ini. Sok tegar, cih..
“Hem, tapi dia sangat
mencintai Fatma, semenjak SD dia sudah suka dengan Fatma, tidak mungkin akan
melupakannya begitu saja lan.”
“Yah yang sabar
aja ya”.
Kata-kata ini aku ucapkan sekaligus untuk diriku
sendiri.
Sok
tegar, sok menjadi penguat untuk sahabatnya sendiri. Itulah aku, tapi apa boleh
buat, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Lagian aku juga tidak mengenal
Rifa secara resmi, kita hanya saling tahu. Itu juga karena dulu, saat aku
ketangkap basah memandanginya di ruangan ujian.
Aku
berjalan menuju kelas, karena waktu istirahat akan berakhir. Di tengah
perjalanan aku bertemu dengan Rida, temanku karate.
“Lan ntar sore
berangkat karate kan?”
“Oh iya, tunggu
aku ya.”
“Iya, ntar aku
tunggu di pinggir lapangan.”
“Sip.”
Sore
itupun aku mengikuti latihan karate, lelah sekali rasanya. Namanya juga latihan
bela diri, ya pasti akan capek. Seusai latihan, aku dan teman-teman baruku
ngobrol-ngobrol sejenak sambil menghilangkan keringat.
“Eh aku duluan
ya, takut nggak dapat angkutan nih.” Rida pamit duluan.
“Oh iya,
hati-hati ya.” aku dan teman yang lain menyahuti.
Satu
persatupun pergi meninggalkan tempat latihan, tinggalah aku berdua dengan
temanku yang bernama Dwi, anak jurusan perkantoran.
“Eh Lan, rumahmu
di mana?”
“Sunggingan,
kenapa?”
“Oh dekat
berarti dari sini, temani aku ya hehe”
“Temani apa
nih?”
“Nungguin
temanku yang lagi paduan suara di aula, kami boncengan. Kebetulan satu desa.”
“Oh, oke.
Rumahmu di mana?”
“Pasuruan Kidul.”
Pasuruan kidul?? Jangan-jangan tetangganya Rifa
hehe.. Rifa lagi Rifa lagi yang muncul. Tapi memang iya, dia tinggal di desa
tersebut. Aku tahu dari Orin, siapa lagi kalau bukan dia sumber informasiku.
Tiba-tiba
datang seorang perempuan, ia langsung
duduk di dekat Dwi.
“Eh lama ya
nunggunya? Hehehe.” sambil cengengesan perempuan itu berbicara pada Dwi.
“Luama bianget
deh” dengan logat lebay Dwi menjawab.
“Maaf deh.”
“Ini yang kamu
tunggu?” akupun bertanya.
“Iya, kenalin
nih Lan temanku.”
“Fatma” dia
tersenyum ke arahku, senyumnya manis kala itu.
“Wulan,” aku
membalas senyumnya, “jurusan apa?”
“Pemasaran,
kamu?”
Ha?? Pemasaran? Namanya Fatma dan rumahnya? apa
jangan-jangan gadis ini adalah… tidakkkkkkkkk!!! Hatiku berteriak-teriak
sendiri.
“Ehh aku
akuntansi.”
Apa benar gadis ini adalah pacar dari sang pangeran,
ups Rifa maksudku. Jelas dibandingnya aku jauh, jauh sekali. Kontras! Apa aku
tanyakan saja ya tentang Rifa, baiklah.
“Kamu tinggal di
Pasuruan Kidulkan?”
“Iya, kenapa?”
“Kenal dong sama
yang namanya Rifa”
“Rifa? Kamu
kenal dengan Rifa?”
Benar
dugaanku, si gadis yang beruntung sekarang ada di hadapanku, dan aku
bercakap-cakap dengannya.
“Bukan aku, tapi
temanku yang kenal. Dulu kami satu SMP.”
“Oh teman kamu,
kirain kamu.”
“Jadi kamu itu
pacarnya ya?”
“Pacar? Apa dia
masih menganggapku sebagai pacarnya ya?”
“Sepertinya
masih, dari cerita temanku kelihatannya kamu adalah gadis yang sangat spesial
di hati Rifa.”
“Tuh kan benar,
si Rifa itu masih suka kamu ma, kamu sih dibilangin nggak percaya.” Dwi menambahi.
“Teman kamu
dekat dengan Rifa? Terus Rifa bilang apa lagi sama temanmu itu?”
“Katanya sih,
hubungan kalian lagi nggak baik.”
“Dasar Rifa,
bikin malu aja.”
“Kamu masih
menyukainya?”
“Kami dulu
selalu bersama, semenjak SD. Aku sering main ke rumahnya hanya sekedar untuk
belajar kelompok. Apa lagi soal matematika, Rifa selalu mengajariku.”
“Oh begitu.”
***
Suatu
hari ada nomor yang tidak kukenal mengirimiku pesan.
Hai
Sinten ? Siapa? Balasku sopan.
Lama
kumenunggu balasan, namun tidak ada balasan yang masuk. Aku penasaran sekaligus
jengkel, karena selama ini yang tahu nomorku hanyalah orang-orang terdekat
saja. Aku kirimkan pesan yang cukup kasar pada nomor itu.
Ini siapa? Kalau tidak mau mengaku jangan ganggu atau sms ke nomor ini lagi !.
Kukirimkan
pesan itu, kemudian dia membalasnya.
Maaf sebelumnya, aku Rifa.
Terkejut,
senang, namun aku merasa bersalah sudah kasar padanya.
Maaf sudah kasar kepadamu.
Iya nggak apa apa.
Malam
itu aku tidak bisa tidur karena mendapat pesan dari sang pangeran yang selama
ini kunantikan.
Ohhhh betapa bahagianya.
Keesokannya
aku bercerita kepada Orin perihal Rifa yang mengirimiku pesan, Orin
menanggapinya dengan santai karena Orin bilang kalau Rifa pernah meminta
nomorku darinya.
“Sepertinya Rifa
tertarik padamu deh Lan.”
“Ah kamu jangan
mengada-ada begitu, apa kamu tidak cemburu kalau dia menyukaiku?”
“Cemburu? Nggak
bakalan deh.. sekarang aku udah jadian sama Hardi sahabatku, kebetulan dia satu
kelas sama Rifa di sekolahnya.”
“Apa? Jadi kamu
udah nggak ada rasa lagi gitu sama Rifa.”
“Nggak ada, aku
sadar selama ini perasaanku bukanlah sebuah cinta namun sebatas kagum, gimana
kalau kamu aja yang jadian sama Rifa.”
“Kamu gila ya,
dia kan udah punya Fatma.”
“Kamu belum tahu
ya, Fatma itu tidak sebaik yang dipandang Rifa, dia mencintai sahabatnya Rifa
bahkan sudah jadian juga. Padahal sahabatnya Rifa itu juga satu desa sama Rifa.
Dia benar-benar nggak tahu malu”
“Kamu tahu dari
mana? Jangan ngegosip gitu deh.”
“Hei aku ini
Orin, sumbernya segala informasi mengenai percintaan masa kini, kalau nggak
percaya lihat tuh facebooknya Fatma.”
Benar
juga, ketika aku membuka facebook, Fatma mengupload beberapa foto bersama
sahabatnya Rifa, Abdul namanya, bahkan status di facebooknya sudah menikah
bersama Abdul. Tiba-tiba aku mendapat satu obrolan dari Rifa. Semakin hari kami
semakin dekat di facebook. Kami sering smsan dan saling menyukai postingan.
Hingga akhirnya Rifa mengutarakan cinta kepadaku lewat pesan facebook, hal
bodoh yang pernah kulakukan adalah menerimanya atas saran dari Orin. Siapa juga
yang tidak senang kalau orang yang dicintainya juga mencintai kita, begitu pula
aku. Aku sangat senang dan bahagia sekali kini menyandang status pacaran dengan
Rifa.
Namun
yang ada di antara kami hanyalah sebuah status, status tanpa hubungan yang
nyata. Hampir satu bulan kami hanya saling kirim pesan, tidak lebih. Tidak ada
yang namanya telfonan, ketemuan atau jalan bareng.
Hingga suatu hari aku mendapat kabar bahwa Rifa masih mengirimkan pesan kepada
Fatma, akupun sadar bahwa Rifa tak
bisa melupakan Fatma dengan mudahnya seperti aku melupakan Rifa. Aku
memberanikan diri untuk bertanya kepada Rifa apakah dia masih mencintai Fatma
atau tidak, meski lewat sms. Rifapun menjawab bahwa dia masih sayang kepada
Fatma, dan semenjak itu status tanpa hubungan ini aku akhiri. Aku mencoba
menjalani hidup tanpa memikirkan Rifa, Orinpun menyemangatiku agar aku bisa
move on dari sang pangeranku itu. Aku fokus dengan sekolahku dan tidak mau lagi
terlibat cinta sampai aku sukses kelak.
Kini
aku sudah berumur 19 tahun, itu artinya sudah 5 tahun semenjak aku mencintai
Rifa dan sekarang belum ada yang mampu menggantikannya di hatiku dan entah
sampai kapan akan terus begini. Kuselipkan kembali foto Rifa yang selama ini
aku simpan di dalam buku harianku. Pada intinya, hidup bukanlah tentang cinta
yang tak terbalas, karena yang namanya cinta tidak akan ada pihak yang
tersakiti.
Cerpen ini pernah saya ikutkan lomba di sebuah penerbit via online (meskipun bukan juara :D ).