Selasa, 18 April 2017

Can't Called Love


“Hhhh…” aku menghela nafas, kupandangi sejenak foto pemuda yang sudah membuat hati ini merasa gundah. Sudah hampir lima tahun aku menyimpan rasa kepada pemuda itu, dan selama itu juga aku tidak pernah mendapatkan hatinya. Dia adalah teman sekolahku disaat aku masih duduk di bangku SMP. Dulu aku tidak pernah tahu bahwa hatiku akan terpaut sangat cepat seperti sambaran kilat. Bahkan aku tidak tahu watak yang dimiliki pemuda itu, Rifa namanya. Aku masih ingat dengan jelas kali pertama aku melihat wajahnya. Ekspresi yang datar dengan tatapan teduhnya, dan gingsul yang menambah pesona si Rifa ini.

Aduhai.. mengapa bukan aku dulu yang mengenalnya, mengapa justru sahabat dekatku yang tahu tentang diri Rifa, oh mengapa?.

“Eh Lan tau ga, tadi pagi aku berpapasan dengan Rifa lagi lho.” celoteh Fitri di pagi hari memecahkan kantuk yang masih menggelayutiku.

“Rifa mulu yang kamu ceritain, nggak ada yang lain aja sih. Lagian aku juga nggak tau orangnya. Aku tidak bisa menikmati ceritamu itu.” jawabku malas masih dengan nada orang bangun tidur.

“Ntar kalau orangngya lewat di depan kita, aku kasih tahu dehh, cakep kok.”

“Hmm iya iya percaya.”

Bosannya minta ampun punya sahabat super alay dan cerewet seperti si Fitri ini, tapi meskipun begitu ia tetap sahabat yang baik dan penuh perhatian. Apalagi kalau pas ada maunya, wajah sok manis yang menjadi andalan untuk merayuku agar kemauannya dapat terpenuhi langsung dipasang sedemikian rupa. Wajar saja dia adalah anak tunggal dari keluarga kaya. Manja adalah watak dasarnya, namun masih ada sifat mandiri terselip di dalam dirinya.

Teeet….. teeeettt….!!

Bel istirahat berbunyi keras, cukup untuk membangunkan mata-mata yang tengah berjuang menahan rasa kantuk dari bosannya menerima pelajaran. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk menghilangkan rasa penat yang sudah singgah beberapa jam lalu. Fitri mengajakku pergi ke kantin untuk membeli es teh manis. Tak ada yang bisa menduga, hari itu adalah hari dimana aku melihat wajah Rifa untuk pertama kalinya. Mengetahui Rifa sedang berjalan di depan kami, Fitri langsung membisikiku dan memberitahu akan sosok Rifa. Aku melihat orang yang dimaksud itu. Deg… jantung ini berdetak tak karuan, tak sengaja mataku dan mata Rifa bertatapan. Kali pertamanya aku merasa bahwa dada ini berdebar begitu cepat, segera kukondisikan sikapku karena aku tidak mau Fitri mengetahui apa yang sedang kurasakan. Aku tersenyum simpul pada Fitri. Memberi isyarat kalau aku sudah tahu orang yang dimaksud.

Oh Rifa.. andai kamu tahu aku menyimpan rasa ini sendirian, tak ada satu orang yang mengetahuinya.

Aku tak sanggup berbicara masalah cinta, dengan siapapun itu. Namun rasa itu selalu menggangguku. Membuatku sulit tidur karena harus memikirkan rupamu yang menawan. Membuatku sulit berjalan ketika aku harus berpapasan denganmu. Berhari-hari aku harus menerima cerita yang membuatku cemburu, sahabatku sendiri mencintaimu, dan aku sadar dialah yang berhak karena dia yang mengenalmu lebih dulu dibanding aku. Naïf rasanya mengatakan kalau aku mengenalmu, bahkan bercakap padamu saja belum pernah kurasakan.

“Fit, antar ke kamar mandi yuk.” ajakku pada Fitri teman sebangkuku.

“Males ah, pergi sendiri ya.”

“Hmm.. ya udah.”

Akupun beranjak pergi ke kamar mandi sendirian, sialnya kamar mandi dekat kelas sedang penuh. Kuputuskan untuk pergi ke kamar mandi depan kantor guru. Dari jauh kulihat Rifa sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya tepat di  depan kantor. Langkahku semakin ragu, tubuhku bergetar, pelan, semakin pelan langkah ini, dan Deg.. Rifa melihatku dari kejauhan. Tingkahku berubah menjadi aneh, aku clingukkan mencari tempat dan kutemukan lorong bawah tangga untuk bersembunyi dari Rifa. Kenapa aku harus bersembunyi? Entahlah saat itu aku merasa aku harus bersembunyi dari pandangan mata Rifa,karena kalau tidak sikapku akan berubah tambah aneh. Aku masih ingat jelas kejadian itu, malu.. dan mungkin itu hal yang konyol untuk dikenang kembali. Lagi-lagi aku tidak bisa melupakan sosok Rifa yang selalu menggetarkan jiwa. Setelah beberapa menit, tubuhku kembali normal dan tidak lagi bergetar, aku putuskan saja untuk kembali ke kelas dengan seribu langkah aku lari menuju kelas.

“Kenapa lari-lari Lan?”

“Oh, tadi aku melihat ada Bu Dewi, jadi aku lari deh.” akupun berbohong pada Fitri.

“Hahaha.. untung nggak jadi korbannya kamu.”

Bu Dewi adalah guru yang suka sekali mengomentari muridnya yang tidak rapi. Entah itu bajunya, sepatunya, rambutnya, atau apalah. Beliau tak segan-segan memarahi anak didiknya walau itu di depan banyak orang, jadi banyak yang takut saat bertemu dengannya.

Tidak bisa seperti ini, harus ada orang yang tahu mengenai perasaanku, dan itu tentu bukan Fitri.

Sepulang sekolah aku menemui Orin teman dekatku dari kelas tujuh hingga sekarang. Aku berniat untuk mencurahkan isi hatiku padanya.

“Rin, aku mau curhat nih.”

“Curhat apaan? Tumben banget kamu curhat, lagi kesambet apa?”

“Serius nih.”

“Iya-iya aku dengerin kok.”

Saat aku akan memulai berbicara, aku melihat Rifa keluar dari kelas temanku itu.

“Eh.. emm dia satu kelas denganmu ya?” tentu yang kumaksud adalah Rifa.

“Oh.. iya Rifa kan? Kamu kenal? Sebenarnya aku menyukainya loh, dia itu anak yang sholeh dan pintar dalam hal hitung menghitung. Nilai matematika dan fisikanya saja sangat bagus. Aku kagum padanya. Sayang sekali dia orangnya cuek, tidak pernah respek dengan yang namanya perempuan. Sebel deh.”

“Oh.. jadi kamu menyukainya?”

“Hehe, iya jangan bilang siapa-siapa, aku sering smsan dengan dia, membahas bola atau apalah yang ia sukai dan aku juga menyukainya.”

“Oh begitu ya.”

“Iya, tadi kamu mau curhat apa, kok jadi aku yang curhat sih.”

“Apa ya? Ah kamu sih banyak cerita, jadi aku lupa mau curhat apa nih.”

“Ah nggak asyik ah pake acara lupa segala.”

“Ya, mau gimana lagi, kapan-kapan aja kalau gitu. Aku pulang dulu ya.”

Tidak kusangka banyak sekali yang menyukaimu, rasa yang aku punya ini apakah penting bagimu? Aku rasa tidak. Kau adalah permata dan aku hanya serpihan debu yang tak pantas disandingkan denganmu. Hingga saat ini aku masih saja merasa seperti itu.

Di jalan, aku melihat kamu sedang mengayuh sepeda jengki tua, tepat di depanku. Menatapmu dari belakang saja itu sudah hal yang sangat menyenangkan. Kalau saja kita kenal, aku bisa mengobrol lama denganmu.

Dari dulu aku selalu yakin kalau rasa ini akan tersampaikan kepadamu, entah sampai kapan dan detik ini juga aku merasa kalau rasa itu tidak akan padam dari hatiku.

Mungkin Tuhan mulai kasihan padaku, seolah ia memberiku kesempatan untuk lebih dekat denganmu. Masih ingatkah kamu? Kita dulu satu ruangan saat try out dan ujian. Aku berada di depan ujung kiri, dan kamu di ujung kanan. Aku yang memulai lembar presensi dan kamu yang akan mengumpulkannya ke meja pengawas. Sesekali saat ujian berlangsung, aku mencuri pandang padamu. Hingga aku tertangkap basah olehmu. Akupun pura-pura meminta jawaban padamu. Tentu dengan berhati-hati supaya pengawas tidak mengetahuinya. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk berinteraksi denganmu. Aku selalu bertanya padamu, begitu sebaliknya kau padaku. Aku senang sekali Tuhan, kala itu aku bisa merasa lebih dekat denganmu meski hanya ketika di dalam ruangan.

Kelulusan, saat dimana aku sudah bisa melupakan sejenak rasaku padamu. Aku fokus pada sekolahku di tingkat SMK. Aku bisa melupakanmu sejenak, tidak terlalu berharap dan mulai terbiasa. Menjalani hari-hariku layaknya perempuan normal yang tidak sedang dilanda rasa cinta. Aku mengikuti ekstra karate untuk menambah kegiatan. Teman baru dan pengalaman bisa kudapatkan di sana. Aku berteman dengan banyak orang, dan mereka adalah orang-orang baik. Aku satu sekolah dengan Orin, namun kami berbeda jurusan. Aku mengambil jurusan Akuntansi, sedang dia di perbankan syariah. Meski begitu kami tetap berteman baik, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Kami adalah sahabat dekat yang saling berbagi keluh kesah.

“Wulannnn..”

“Eh Orin, ada apa?”

“Ntar pulang bareng ya, tunggu aku di kantin. Oke?”

“Oh, siap deh.”

Aku dan Orin pulang bersama, menaiki sepeda dan mengobrol sepanjang jalan. Hemm begitu indah ya sebuah persahabatan.

Suatu hari Orin mengatakan padaku kalau dia semakin sering smsan dengan Rifa, mendengar curhatan itu kini rasa suka kepada Rifa datang kembali menyergapku.

Ahh kenapa Orin harus membahas si Rifa.

Rasa yang sudah mulai pudar, kini mulai terlihat kembali. Hanya karena nama “Rifa” sering kudengar dari mulut sahabatku Orin. Mendengar namanya saja aku sudah berdebar-debar, tapi aku hanya bisa apa? Sebagai sahabat yang baik aku harus mau mendengarkan curhatannya kan? Begitulah tugas seorang sahabat.

“Eh Lan, bete nih.” Orin menggerutu cemberut.

“Emang ada apa sih Rin?” aku meletakkan teh manis di meja dan mulai mendengarkan keluhan dari sahabatku ini.

“Itu si Rifa.” wajah Orin Nampak sangat kecewa dan kesal.

Ehh ? Rifa? Ada apa dengannya? Hemmm.. Rifa Rifa.. laki-laki seperti apakah dirimu itu? hingga membuat banyak hati jatuh padamu. Termasuk aku ini hehe.. dasar cinta, datangnya tiba-tiba eh perginya kok susah ya.

“Kenapa si Rifa?” tanyaku penasaran.

“ternyata Rifa sudah punya pacar lan, hwaaa rasanya pengen nangis sambil teriak-teriak!” tangan Orin memukul-mukul meja kantin walau tidak begitu keras, hanya sebagai lambang bahwa dia sedang kesal saat itu.

Aku melongo kaget, seolah tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

“Apaaa…???, masak? Yang bener aja, katamu dia laki-laki yang sholeh? Kok punya pacar segala sih?”

“Nah itu, awalnya aku juga tidak percaya, tapi tidak mungkin seorang Rifa berbohong. Parahnya, perempuan yang beruntung itu satu sekolah sama kita.”

“Satu sekolah? Kamu tahu orangnya yang mana?”

“Tidak, aku hanya tahu kalau namanya itu Fatma, dan dia mengambil jurusan pemasaran,”

Beruntung sekali si Fatma ini, dari beberapa hati, eh dialah yang bisa menggenggam hati sang pangeran.

“tapi kata si Rifa, hubungannya akhir-akhir ini sedang tidak baik dengan Fatma.” Orin menambahkan.

“Lho, kenapa?”

“Fatma mau dijodohin sama orang tuanya, hahaha.. aneh-aneh saja. Ini zaman apa masih ada acara begituan, iya kan?”

Apakah ini artinya aku masih diperbolehkan berharap kepadamu Rifa? Ah.. entahlah..

“Oh begitu ya.. yee kamu masih punya kesempatan dong.” 

Benar-benar munafik ucapanku ini. Sok tegar, cih..

“Hem, tapi dia sangat mencintai Fatma, semenjak SD dia sudah suka dengan Fatma, tidak mungkin akan melupakannya begitu saja lan.”

“Yah yang sabar aja ya”.

Kata-kata ini aku ucapkan sekaligus untuk diriku sendiri.

Sok tegar, sok menjadi penguat untuk sahabatnya sendiri. Itulah aku, tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Lagian aku juga tidak mengenal Rifa secara resmi, kita hanya saling tahu. Itu juga karena dulu, saat aku ketangkap basah memandanginya di ruangan ujian.

Aku berjalan menuju kelas, karena waktu istirahat akan berakhir. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan Rida, temanku karate.

“Lan ntar sore berangkat karate kan?”

“Oh iya, tunggu aku ya.”

“Iya, ntar aku tunggu di pinggir lapangan.”

“Sip.”

Sore itupun aku mengikuti latihan karate, lelah sekali rasanya. Namanya juga latihan bela diri, ya pasti akan capek. Seusai latihan, aku dan teman-teman baruku ngobrol-ngobrol sejenak sambil menghilangkan keringat.

“Eh aku duluan ya, takut nggak dapat angkutan nih.” Rida pamit duluan.

“Oh iya, hati-hati ya.” aku dan teman yang lain menyahuti.

Satu persatupun pergi meninggalkan tempat latihan, tinggalah aku berdua dengan temanku yang bernama Dwi, anak jurusan perkantoran.

“Eh Lan, rumahmu di mana?”

“Sunggingan, kenapa?”

“Oh dekat berarti dari sini, temani aku ya hehe”

“Temani apa nih?”

“Nungguin temanku yang lagi paduan suara di aula, kami boncengan. Kebetulan satu desa.”

“Oh, oke. Rumahmu di mana?”

“Pasuruan Kidul.”

Pasuruan kidul?? Jangan-jangan tetangganya Rifa hehe.. Rifa lagi Rifa lagi yang muncul. Tapi memang iya, dia tinggal di desa tersebut. Aku tahu dari Orin, siapa lagi kalau bukan dia sumber informasiku.

Tiba-tiba datang seorang perempuan, ia langsung duduk di dekat Dwi.

“Eh lama ya nunggunya? Hehehe.” sambil cengengesan perempuan itu berbicara pada Dwi.

“Luama bianget deh” dengan logat lebay Dwi menjawab.

“Maaf deh.”

“Ini yang kamu tunggu?” akupun bertanya.

“Iya, kenalin nih Lan temanku.”

“Fatma” dia tersenyum ke arahku, senyumnya manis kala itu.

“Wulan,” aku membalas senyumnya, “jurusan apa?”

“Pemasaran, kamu?”

Ha?? Pemasaran? Namanya Fatma dan rumahnya? apa jangan-jangan gadis ini adalah… tidakkkkkkkkk!!! Hatiku berteriak-teriak sendiri.

“Ehh aku akuntansi.”

Apa benar gadis ini adalah pacar dari sang pangeran, ups Rifa maksudku. Jelas dibandingnya aku jauh, jauh sekali. Kontras! Apa aku tanyakan saja ya tentang Rifa, baiklah.

“Kamu tinggal di Pasuruan Kidulkan?”

“Iya, kenapa?”

“Kenal dong sama yang namanya Rifa”

“Rifa? Kamu kenal dengan Rifa?”

Benar dugaanku, si gadis yang beruntung sekarang ada di hadapanku, dan aku bercakap-cakap dengannya.

“Bukan aku, tapi temanku yang kenal. Dulu kami satu SMP.”

“Oh teman kamu, kirain kamu.”

“Jadi kamu itu pacarnya ya?”

“Pacar? Apa dia masih menganggapku sebagai pacarnya ya?”

“Sepertinya masih, dari cerita temanku kelihatannya kamu adalah gadis yang sangat spesial di hati Rifa.”

“Tuh kan benar, si Rifa itu masih suka kamu ma, kamu sih dibilangin nggak percaya.” Dwi menambahi.

“Teman kamu dekat dengan Rifa? Terus Rifa bilang apa lagi sama temanmu itu?”

“Katanya sih, hubungan kalian lagi nggak baik.”

“Dasar Rifa, bikin malu aja.”

“Kamu masih menyukainya?”

“Kami dulu selalu bersama, semenjak SD. Aku sering main ke rumahnya hanya sekedar untuk belajar kelompok. Apa lagi soal matematika, Rifa selalu mengajariku.”

“Oh begitu.”

***

Suatu hari ada nomor yang tidak kukenal mengirimiku pesan.

Hai

Sinten ? Siapa? Balasku sopan.

Lama kumenunggu balasan, namun tidak ada balasan yang masuk. Aku penasaran sekaligus jengkel, karena selama ini yang tahu nomorku hanyalah orang-orang terdekat saja. Aku kirimkan pesan yang cukup kasar pada nomor itu.

Ini siapa? Kalau tidak mau mengaku jangan  ganggu atau sms ke nomor ini lagi !.

Kukirimkan pesan itu, kemudian dia membalasnya.

Maaf sebelumnya, aku Rifa.

Terkejut, senang, namun aku merasa bersalah sudah kasar padanya.

Maaf sudah kasar kepadamu.

Iya nggak apa apa.

Malam itu aku tidak bisa tidur karena mendapat pesan dari sang pangeran yang selama ini kunantikan.

Ohhhh betapa bahagianya.

Keesokannya aku bercerita kepada Orin perihal Rifa yang mengirimiku pesan, Orin menanggapinya dengan santai karena Orin bilang kalau Rifa pernah meminta nomorku darinya.

“Sepertinya Rifa tertarik padamu deh Lan.”

“Ah kamu jangan mengada-ada begitu, apa kamu tidak cemburu kalau dia menyukaiku?”

“Cemburu? Nggak bakalan deh.. sekarang aku udah jadian sama Hardi sahabatku, kebetulan dia satu kelas sama Rifa di sekolahnya.”

“Apa? Jadi kamu udah nggak ada rasa lagi gitu sama Rifa.”

“Nggak ada, aku sadar selama ini perasaanku bukanlah sebuah cinta namun sebatas kagum, gimana kalau kamu aja yang jadian sama Rifa.”

“Kamu gila ya, dia kan udah punya Fatma.”

“Kamu belum tahu ya, Fatma itu tidak sebaik yang dipandang Rifa, dia mencintai sahabatnya Rifa bahkan sudah jadian juga. Padahal sahabatnya Rifa itu juga satu desa sama Rifa. Dia benar-benar nggak tahu malu”

“Kamu tahu dari mana? Jangan ngegosip gitu deh.”

“Hei aku ini Orin, sumbernya segala informasi mengenai percintaan masa kini, kalau nggak percaya lihat tuh facebooknya Fatma.”

Benar juga, ketika aku membuka facebook, Fatma mengupload beberapa foto bersama sahabatnya Rifa, Abdul namanya, bahkan status di facebooknya sudah menikah bersama Abdul. Tiba-tiba aku mendapat satu obrolan dari Rifa. Semakin hari kami semakin dekat di facebook. Kami sering smsan dan saling menyukai postingan. Hingga akhirnya Rifa mengutarakan cinta kepadaku lewat pesan facebook, hal bodoh yang pernah kulakukan adalah menerimanya atas saran dari Orin. Siapa juga yang tidak senang kalau orang yang dicintainya juga mencintai kita, begitu pula aku. Aku sangat senang dan bahagia sekali kini menyandang status pacaran dengan Rifa.

Namun yang ada di antara kami hanyalah sebuah status, status tanpa hubungan yang nyata. Hampir satu bulan kami hanya saling kirim pesan, tidak lebih. Tidak ada yang namanya telfonan, ketemuan atau jalan bareng. Hingga suatu hari aku mendapat kabar bahwa Rifa masih mengirimkan pesan kepada Fatma, akupun sadar bahwa Rifa tak bisa melupakan Fatma dengan mudahnya seperti aku melupakan Rifa. Aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Rifa apakah dia masih mencintai Fatma atau tidak, meski lewat sms. Rifapun menjawab bahwa dia masih sayang kepada Fatma, dan semenjak itu status tanpa hubungan ini aku akhiri. Aku mencoba menjalani hidup tanpa memikirkan Rifa, Orinpun menyemangatiku agar aku bisa move on dari sang pangeranku itu. Aku fokus dengan sekolahku dan tidak mau lagi terlibat cinta sampai aku sukses kelak.

Kini aku sudah berumur 19 tahun, itu artinya sudah 5 tahun semenjak aku mencintai Rifa dan sekarang belum ada yang mampu menggantikannya di hatiku dan entah sampai kapan akan terus begini. Kuselipkan kembali foto Rifa yang selama ini aku simpan di dalam buku harianku. Pada intinya, hidup bukanlah tentang cinta yang tak terbalas, karena yang namanya cinta tidak akan ada pihak yang tersakiti.
Cerpen ini pernah saya ikutkan lomba di sebuah penerbit via online (meskipun bukan juara :D ).