Selasa, 06 September 2016

Kidung Dari Umi



Tak akan terdengar lagi

Kidung merdu dari umi

“do si la sol fa mi”

Pun tak sebanding dengan ini

“anakku sayang, manis sekali”

“anakku sayang, anaknya umi”

Tiap malam tak pernah henti

Kidung dari umi

Pengiring sebelum aku bermimpi

Puk puk puk di atas dahi

Tangannya adalah bukti

Aku rindu kidung dari umi
(Pernah diterbitkan di mading kampus)

01/04/2016

Kamis, 01 September 2016

Bintangnya Lintang


 
           Semilir angin menemani langkahku menuju taman bermain, sore itu awan terlihat agak mendung. Aku khawatir hujan akan turun karena aku tidak membawa payung atau pun jas hujan. Biarlah, ini tidak akan memakan waktu yang cukup lama, pikirku. Biarlah penantianku selama ini yang lama, kali ini aku benar-benar ingin menemuinya. Sekali saja melihat wajah cerianya memandang dunia, sekali saja aku ingin kedua matanya menatap lekat ke arahku, dan menyebut namaku, karena aku juga merindukan suara indahnya itu.

Aku berjalan mengitari taman itu, mencari sosok yang sudah lama tak bertemu. Masih ingatkah dia denganku? Rindukah ia denganku, atau tidakkah ia ingin melihat wajahku? Bagaimana rupanya sekarang aku begitu penasaran. Lintang, teman bermainku dulu, kudengar ia akan berkunjung di taman bermain ini bersama adik dan ayahnya. Ibunya baru saja mengabariku lewat telepon. Masih ingat saja ibunya denganku, padahal sudah lama sekali keluargaku dan keluarga lintang tidak bertemu. Semenjak dia harus pindah ke kota untuk melakukan operasi pada matanya. Lintang tidak bisa melihat, meski begitu aku senang menjadi temannya, ia adalah sosok yang hebat karena tak pernah mengeluh. Wajahnya selalu ceria meski ia tidak tahu banyak hal yang membahagiakan yang bisa dilihat di dunia ini.

“Lintang?”

“Iya?”

“Kalau kamu udah operasi, dan bisa melihat apa yang kamu ingin lihat?”

“Aku ingin melihat Bintang”

“Apa?? Kamu ingin melihat a..?”

“Aku ingin melihat bintang di langit sana” Lintang memotong pembicaraanku “kau bilang bintang di langit begitu indah, mereka berkedip-kedip penuh cahaya, iyakan?”

“Iya, aku juga menyukai bintang. Nanti kita akan melihat bintang bersama-sama ketika kamu bisa melihat lagi”

“Pasti”

Entahlah, kini Lintang mengingat masa-masa indah ketika kecil dulu atau tidak. Aku duduk di sebuah ayunan, dulu aku dan Lintang sering bermain di taman ini. Kami berdua selalu menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Sekolah kami memang berbeda, tapi aku dan Lintang sering belajar bersama, kadang di rumahku kadang di rumah Lintang. Kalau diingat-ingat lagi, aku dan Lintang begitu dekat. Seandainya kita bisa menghabiskan waktu remaja kita bersama-sama. Sayangnya tidak, apakah nanti kita akan bisa dekat lagi?

Dari kejauhan kulihat Om Budi, ayah Lintang bersama seorang laki-laki seumuranku dan kurasa itu adalah Lintang. Ia masih sama seperti dulu, begitu sayang dengan adiknya. Ia menggandeng erat adiknya yang kini juga sudah tumbuh besar. Kupandangi Lintang dari kejauhan, rambut ikalnya yang khas tak merubah penampilannya. Hidungnya semakin mancung dan tinggi, ia kini tinggi sekali bahkan hampir sama tingginya dengan Om Budi. Wow.. Lintang kau benar-benar membuatku terpana. Mereka melangkah mendekat ke arahku, aku mengalihkan pandanganku berpura-pura sibuk sendiri dengan duniaku. Mereka lewat saja, sepertinya tidak ada yang mengenaliku. Bahkan Om Budi tidak menyapaku, apa aku berubah drastis? Pikirku.

Lintang terlihat asyik memotret pemandangan dengan kamera digital yang ia bawa. Senang sekali melihatnya bisa mengabadikan dunia, tidak dengan imajinasinya, kini ia bisa langsung merasakan dunia. Sejujurnya aku ingin sekali berada di sampingmu, menikmati indahnya dunia bersamanya, memanggil namanya, aku benar-benar rindu dan ingin bermain bersamanya lagi.

Kuberanikan untuk mendekati mereka, aku berjalan menuju ke arah mereka. Banyak sekali pengunjung di sana sehingga aku tidak begitu terlihat mencolok ketika memperhatikan Lintang yang sedang asyik sendiri. Kau terlalu asyik dengan dunia yang kau pandangi sehingga kau abaikan sekitar. Itu bagus, aku bisa dengan bebas memperhatikanmu. Kini aku duduk di bawah pohon yang cukup besar, menyandarkan punggungku di sana. Mengabadikan keceriaanmu lewat ponselku, hanya itu yang mampu kulakukan. Aku tak sanggup bila tiba-tiba muncul di hadapanmu dan memanggil namamu. Aku khawatir kau tak akan mengingat siapa diriku.

“Lintang, tahu nggak kalau nama kita itu memiliki arti yang sama?” tanyaku pada Lintang yang sedang belajar membaca teks timbul.

“Aku tahu, sekarang aku tanya sama kamu. Ada nggak di dunia ini bintang yang memiliki sinar paling terang?”

“Ada, tapi bintang itu muncul hanya di siang hari”

“Apa itu?”

“Matahari”

“Kok bisa?”

“Kau ini, ibu guru bilang bahwa matahari adalah bintang terbesar yang memiliki cahaya paling banyak. Tanpa matahari bahkan bulan tak mampu bersinar”

“Wow aku ingin sekali melihat matahari”

“Matamu bisa sakit kalau memilhat matahari”

“Aku akan melihat matahari yang lainnya, yang memiliki sinar lebih terang dan tidak akan membuat mataku sakit”

“Memang ada?”

“Ada dong”

Kenangan masa kecil kita terbayang lagi olehku, awan yang mendung kini kembali cerah. Sinar dari matahari senja yang kejingga-jinggaan bermunculan, menghiasi awan. Aku harus bergegas pulang. Kulihat lagi Lintang, kemudian aku berpaling dan pergi dari sana, membalikkan badan dan melangkah. Mataku berkaca-kaca, beginilah akhirnya, aku tak sanggup muncul di hadapanmu, sekadar menyapamu pun aku takut. Alangkah pengecutnya diriku ini.

“Tunggu..” suara Lintang terdengar di telingaku, aku ingin sekali menoleh dan melihat untuk siapa kata tunggu itu, mungkinkah untukku? Ah sepertinya tidak, bisa saja untuk adiknya atau ayahnya.

“hei, berhenti dulu” suaranya kali ini semakin dekat seolah ia berada tepat di belakangku, aku pun menoleh ke arahnya dan benar ia di belakangku memandang ke arahku.

“kau meninggalkan ponselmu di sana, adikku menemukannya” Lintang menyodorkan ponselku, aku benar-benar lupa membawanya. Aku mengambil ponsel itu dari tangannya dan tersenyum ke arahnya, kutundukkan kepalaku lalu aku membalikkan badan melangkah lagi. Entahlah Lintang, melihatmu memandangku dan mendengar suaramu sudah sangat menyenangkan bagiku. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa di hadapanmu. Maaf aku membalikkan badanku ini.

“apa kau tidak ingin mengucapkan terima kasih? Paling tidak kepada adikku yang sudah menemukannya” Lintang kembali mengeluarkan suara yang kurindu itu.

Aku menghadap ke arahnya lagi, lalu melihat kesebelahnya, ia menggandeng adiknya itu. Kujongkokkan sedikit badanku agar tinggiku sama dengan Dimas, nama adiknya. “Terima kasih ya udah nemuin ponsel kakak dan mengembalikannya” kuusap kepala Dimas. “Iya sama-sama” jawabnya imut.

“Bisakah kau mengucapkannya sekali lagi?” Lintang berbicara kepadaku.

“Ke.. kenapa?” aku bingung sendiri melihatnya, ia memandangiku dengan tatapan tajam.

“Sekali saja, kumohon ucapkan kalimat yang panjang agar aku bisa mengenali suaramu itu”

“Terima kasih, terima kasih banyak Dimas dan..”

“Dan apa?”

“Dan Lintang”

Kulihat Lintang berkaca-kaca sepertiku, ia mendekat ke arahku lalu memelukku erat. “Bintang, kenapa tidak dari tadi? Aku mencarimu” Lintang terisak di bahuku.

“Maaf, aku terlalu takut, aku takut kau melupakanku” Lintang melepaskan pelukannya dariku.

“Sekarang aku bisa melihat bintang bersama denganmu lagi” ia tersenyum.

“Tentu, setiap malam kita akan melihat bintang bersama”

“Bintang yang kumaksud adalah bintang yang sedang aku lihat, bukankah saat ini kita sedang menatap bintang?”

“Lintang?” aku bingung dengan kalimatnya.

“Benar, Lintang adalah Bintang dan Bintang adalah Lintang. Kau melihatku dan aku melihatmu, aku benar bukan?”

Aku memeluk Lintang, entahlah dadaku terasa begitu sesak, terlalu sesak untuk mengutarakan betapa senangnya aku.

“Kau adalah Bintang yang memiliki banyak sinar, kau Bintangnya Lintang” Lintang mengusap lembut kepalau. Aku tersenyum di dalam pelukannya.