Semilir
angin menemani langkahku menuju taman bermain, sore itu awan terlihat agak
mendung. Aku khawatir hujan akan turun karena aku tidak membawa payung atau pun
jas hujan. Biarlah, ini tidak akan memakan waktu yang cukup lama, pikirku.
Biarlah penantianku selama ini yang lama, kali ini aku benar-benar ingin
menemuinya. Sekali saja melihat wajah cerianya memandang dunia, sekali saja aku
ingin kedua matanya menatap lekat ke arahku, dan menyebut namaku, karena aku
juga merindukan suara indahnya itu.
Aku berjalan
mengitari taman itu, mencari sosok yang sudah lama tak bertemu. Masih ingatkah
dia denganku? Rindukah ia denganku, atau tidakkah ia ingin melihat wajahku?
Bagaimana rupanya sekarang aku begitu penasaran. Lintang, teman bermainku dulu,
kudengar ia akan berkunjung di taman bermain ini bersama adik dan ayahnya.
Ibunya baru saja mengabariku lewat telepon. Masih ingat saja ibunya denganku,
padahal sudah lama sekali keluargaku dan keluarga lintang tidak bertemu.
Semenjak dia harus pindah ke kota untuk melakukan operasi pada matanya. Lintang
tidak bisa melihat, meski begitu aku senang menjadi temannya, ia adalah sosok
yang hebat karena tak pernah mengeluh. Wajahnya selalu ceria meski ia tidak
tahu banyak hal yang membahagiakan yang bisa dilihat di dunia ini.
“Lintang?”
“Iya?”
“Kalau kamu
udah operasi, dan bisa melihat apa yang kamu ingin lihat?”
“Aku ingin
melihat Bintang”
“Apa?? Kamu
ingin melihat a..?”
“Aku ingin
melihat bintang di langit sana” Lintang memotong pembicaraanku “kau bilang
bintang di langit begitu indah, mereka berkedip-kedip penuh cahaya, iyakan?”
“Iya, aku
juga menyukai bintang. Nanti kita akan melihat bintang bersama-sama ketika kamu
bisa melihat lagi”
“Pasti”
Entahlah,
kini Lintang mengingat masa-masa indah ketika kecil dulu atau tidak. Aku duduk
di sebuah ayunan, dulu aku dan Lintang sering bermain di taman ini. Kami berdua
selalu menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Sekolah kami memang
berbeda, tapi aku dan Lintang sering belajar bersama, kadang di rumahku kadang
di rumah Lintang. Kalau diingat-ingat lagi, aku dan Lintang begitu dekat.
Seandainya kita bisa menghabiskan waktu remaja kita bersama-sama. Sayangnya
tidak, apakah nanti kita akan bisa dekat lagi?
Dari
kejauhan kulihat Om Budi, ayah Lintang bersama seorang laki-laki seumuranku dan
kurasa itu adalah Lintang. Ia masih sama seperti dulu, begitu sayang dengan
adiknya. Ia menggandeng erat adiknya yang kini juga sudah tumbuh besar.
Kupandangi Lintang dari kejauhan, rambut ikalnya yang khas tak merubah
penampilannya. Hidungnya semakin mancung dan tinggi, ia kini tinggi sekali
bahkan hampir sama tingginya dengan Om Budi. Wow.. Lintang kau benar-benar
membuatku terpana. Mereka melangkah mendekat ke arahku, aku mengalihkan pandanganku
berpura-pura sibuk sendiri dengan duniaku. Mereka lewat saja, sepertinya tidak
ada yang mengenaliku. Bahkan Om Budi tidak menyapaku, apa aku berubah drastis?
Pikirku.
Lintang
terlihat asyik memotret pemandangan dengan kamera digital yang ia bawa. Senang
sekali melihatnya bisa mengabadikan dunia, tidak dengan imajinasinya, kini ia
bisa langsung merasakan dunia. Sejujurnya aku ingin sekali berada di sampingmu,
menikmati indahnya dunia bersamanya, memanggil namanya, aku benar-benar rindu
dan ingin bermain bersamanya lagi.
Kuberanikan
untuk mendekati mereka, aku berjalan menuju ke arah mereka. Banyak sekali
pengunjung di sana sehingga aku tidak begitu terlihat mencolok ketika
memperhatikan Lintang yang sedang asyik sendiri. Kau terlalu asyik dengan dunia
yang kau pandangi sehingga kau abaikan sekitar. Itu bagus, aku bisa dengan
bebas memperhatikanmu. Kini aku duduk di bawah pohon yang cukup besar,
menyandarkan punggungku di sana. Mengabadikan keceriaanmu lewat ponselku, hanya
itu yang mampu kulakukan. Aku tak sanggup bila tiba-tiba muncul di hadapanmu
dan memanggil namamu. Aku khawatir kau tak akan mengingat siapa diriku.
“Lintang,
tahu nggak kalau nama kita itu memiliki arti yang sama?” tanyaku pada Lintang
yang sedang belajar membaca teks timbul.
“Aku tahu,
sekarang aku tanya sama kamu. Ada nggak di dunia ini bintang yang memiliki
sinar paling terang?”
“Ada, tapi
bintang itu muncul hanya di siang hari”
“Apa itu?”
“Matahari”
“Kok bisa?”
“Kau ini,
ibu guru bilang bahwa matahari adalah bintang terbesar yang memiliki cahaya
paling banyak. Tanpa matahari bahkan bulan tak mampu bersinar”
“Wow aku
ingin sekali melihat matahari”
“Matamu bisa
sakit kalau memilhat matahari”
“Aku akan
melihat matahari yang lainnya, yang memiliki sinar lebih terang dan tidak akan
membuat mataku sakit”
“Memang
ada?”
“Ada dong”
Kenangan
masa kecil kita terbayang lagi olehku, awan yang mendung kini kembali cerah.
Sinar dari matahari senja yang kejingga-jinggaan bermunculan, menghiasi awan.
Aku harus bergegas pulang. Kulihat lagi Lintang, kemudian aku berpaling dan
pergi dari sana, membalikkan badan dan melangkah. Mataku berkaca-kaca,
beginilah akhirnya, aku tak sanggup muncul di hadapanmu, sekadar menyapamu pun
aku takut. Alangkah pengecutnya diriku ini.
“Tunggu..”
suara Lintang terdengar di telingaku, aku ingin sekali menoleh dan melihat
untuk siapa kata tunggu itu, mungkinkah untukku? Ah sepertinya tidak, bisa saja
untuk adiknya atau ayahnya.
“hei,
berhenti dulu” suaranya kali ini semakin dekat seolah ia berada tepat di
belakangku, aku pun menoleh ke arahnya dan benar ia di belakangku memandang ke
arahku.
“kau
meninggalkan ponselmu di sana, adikku menemukannya” Lintang menyodorkan
ponselku, aku benar-benar lupa membawanya. Aku mengambil ponsel itu dari
tangannya dan tersenyum ke arahnya, kutundukkan kepalaku lalu aku membalikkan
badan melangkah lagi. Entahlah Lintang, melihatmu memandangku dan mendengar
suaramu sudah sangat menyenangkan bagiku. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa
di hadapanmu. Maaf aku membalikkan badanku ini.
“apa kau tidak
ingin mengucapkan terima kasih? Paling tidak kepada adikku yang sudah
menemukannya” Lintang kembali mengeluarkan suara yang kurindu itu.
Aku
menghadap ke arahnya lagi, lalu melihat kesebelahnya, ia menggandeng adiknya
itu. Kujongkokkan sedikit badanku agar tinggiku sama dengan Dimas, nama
adiknya. “Terima kasih ya udah nemuin ponsel kakak dan mengembalikannya” kuusap
kepala Dimas. “Iya sama-sama” jawabnya imut.
“Bisakah kau
mengucapkannya sekali lagi?” Lintang berbicara kepadaku.
“Ke..
kenapa?” aku bingung sendiri melihatnya, ia memandangiku dengan tatapan tajam.
“Sekali
saja, kumohon ucapkan kalimat yang panjang agar aku bisa mengenali suaramu itu”
“Terima
kasih, terima kasih banyak Dimas dan..”
“Dan apa?”
“Dan
Lintang”
Kulihat
Lintang berkaca-kaca sepertiku, ia mendekat ke arahku lalu memelukku erat.
“Bintang, kenapa tidak dari tadi? Aku mencarimu” Lintang terisak di bahuku.
“Maaf, aku
terlalu takut, aku takut kau melupakanku” Lintang melepaskan pelukannya dariku.
“Sekarang
aku bisa melihat bintang bersama denganmu lagi” ia tersenyum.
“Tentu,
setiap malam kita akan melihat bintang bersama”
“Bintang
yang kumaksud adalah bintang yang sedang aku lihat, bukankah saat ini kita
sedang menatap bintang?”
“Lintang?”
aku bingung dengan kalimatnya.
“Benar,
Lintang adalah Bintang dan Bintang adalah Lintang. Kau melihatku dan aku
melihatmu, aku benar bukan?”
Aku memeluk
Lintang, entahlah dadaku terasa begitu sesak, terlalu sesak untuk mengutarakan
betapa senangnya aku.
“Kau adalah
Bintang yang memiliki banyak sinar, kau Bintangnya Lintang” Lintang mengusap
lembut kepalau. Aku tersenyum di dalam pelukannya.