Aku sudah pernah terjebak dalam berbagai
masalah, mulai dari masalah kecil hingga terbesar sekalipun. Aku mahir dalam
menghadapi berbagai masalah, namun kini aku terjebak dalam sebuah harapan yang
entah sampai kapan ujungnya. Apakah nasib harapanku ini akan seperti
sinetron-sinetron yang sedang marak ditayangkan di televisi, tidak pernah
berujung dan selalu berbelit-belit. Intinya tidak akan kelar. Kuharap tidak.
Karena kuyakin semua harapan memiliki jawaban.
Sore itu dia menghubungiku, Rino
namanya. Lagi-lagi ia hanya memintaku untuk menemani ngopi di warung milik Mak
Marni. Seperti biasa, aku tidak bisa menolak meski ujung-ujungnya aku hanya
menjadi obat nyamuk di sana. Karena hanya itu satu-satunya alasan aku bisa
berada dekat dengannya. Tidak peduli dia beranggapan ini adalah sebuah
kedekatan atau tidak. Aku duduk di depannya membaca novel. Sebenarnya novel ini
hanyalah alasan supaya aku bisa mencuri pandang darinya tanpa ia sadari.
Melihatnya sibuk sendiri dengan laptop dan sesekali menyeruput kopi hitam
kesukaannya itu. Entah apa yang ia sedang kerjakan, ia selalu saja bilang itu
tugas dari dosen. Aku saja tidak pernah sesibuk itu jika mendapat tugas dari
dosen. Sesekali memang sibuk, namun tidak untuk berterusan.
“Mengapa kau suka sekali minum
kopi?” tanyaku padanya mencairkan suasana.
“Kopi ini manis, aku menyukainya.”
jawabnya masih sibuk pada laptopnya.
“Bukankah kopi ini kopi hitam? Aku
kira ini rasanya pahit.”
“Tidak, ini manis. Coba saja kalau
tidak percaya.”
“Tidak ah, aku tidak suka kopi hitam.”
“Hmm ya sudah.” jawabnya datar.
Dengan hati kesal aku pamit untuk
pulang duluan, awalnya ia tidak mengizinkanku pulang karena hari sudah mulai
gelap. Namun aku beralasan bahwa aku sudah mengantuk dan ingin cepat tidur.
Kukira dengan begitu dia akan menawarkan dirinya untuk mengantarku pulang, tetapi
namanya juga Rino. Ia membiarkanku pulang sendirian. “Hati-hati pulangnya”
ucapnya datar memandangku lalu kembali mengetik-ngetik entah apa yang diketik
itu. aku pun pulang meninggalkannya. Sampai di rumah aku langsung merebahkan
tubuhku di atas Kasur. Memejamkan mata sejenak. Tling… handphoneku berbunyi,
ada pesan yang masuk. Kubuka pesan itu ternyata dari Rino jangan
langsung tidur, cuci kaki dan tanganmu dulu inilah yang aku suka darinya. Seolah ia
mengikutiku setiap kali aku menuju rumah. Mengikutiku? Memang siapa diriku
diikutinya.
Sore yang sama, aku menunggu pesan
darinya. Biasanya jam segini ia akan mengirimiku pesan untuk mengajak ke warung
Mak Marni. Hari sudah mulai petang, ia tak jua mengirimiku pesan. Aneh, tidak
seperti biasanya. Aku sudah terbiasa diajaknya pergi ngopi. Di mana dia
sekarang? Tling pesan masuk dari
Rino, jangan gelisah, aku ingin ngopi sendirian dulu hari ini.
Maaf ya. Sialan! Batinku. Seolah dia tahu kalau aku menunggunya. Sejujurnya
aku ini memang mencintainya dan aku mengharapkannya. Tapi aku tidak berani
untuk menunjukkan cintaku, karena aku tahu ia hanya menganggapku teman. Anehnya
aku tidak berhenti berharap padanya, meski tidak ada yang tahu tentang
harapanku ini padanya.
Sore berikutnya aku tidak lagi
mendapat pesan dari Rino, sama sekali tidak. Tidak mengajak ngopi juga tidak
memberi tahu bahwa ia ingin ngopi sendirian. Sudahlah, apapun yang ia lakukan
aku mencoba untuk tidak peduli. Seminggu kemudian ia baru menghubungiku,
katanya ia harus pergi ke kota untuk beberapa hari mengurus sesuatu, entah apa itu.
aku coba untuk tidak peduli walau sebenarnya aku penasaran dan ingin sekali
berjumpa padanya. Aku terlampau bosan dalam mengkhawatirkannya serta
merinduinya. Kuhilangkan bosanku ini dengan membuka-buka internet. Entah apa
yang ingin kucari aku bingung. Kuketikkan tulisan ‘Kopi Hitam yang Manis’ di
mesin pencarian. Salah satu alamat blog muncul paling atas, aku penasaran dan
membukanya. Kubaca perlahan-lahan semua tulisan dengan background yang cukup menarik itu. seolah memang didesain untukku,
aku menyukainya. Aku mulai merasa bahwa tulisan itu berkisah tentangku.
Aku selalu menikmati
kopi hitam ini. Meski rasa yang muncul dilidahku adalah pahit, namun aku
merasakan sesuatu yang manis, ia berada tepat di hadapanku. Duduk memandangku
dan aku merasakannya. Untuk yang kesekian kalinya aku tidak berani membalas
pandangannya. Emil, seorang gadis yang kukenal satu setengah tahun lalu di kampus.
Wajah lelahnya ketika sedang dikerjain senior masih bisa kuingat dengan jelas.
Paragraf
itu benar-benar mengarahkanku pada Rino. Ia mengenalku ketika kami satu
kelompok ospek dulu. Dan pertemanan kami berlanjut hingga saat ini. Dan nama
Emil, ia pernah memanggilku dengan sebutan Emil awal-awal kami kenal dulu.
Emilia Lusiana, itulah nama lengkapku dan orang-orang termasuk dia memanggilku
Lusi. Hanya orang yang baru kenal saja yang memanggilku Emil. Aku mulai
penasaran dan mencoba membaca post selanjutnya.
Aku sadar ini adalah
rasa cinta, dan aku tak ingin kehilangannya. Biarkan ia tetap menjadi temanku
tanpa aku harus jauh darinya. Emil pemanis kopi pahitku dan segala inspirasiku.
Kuharap ia tahu tentang perasaanku ini karena aku terlampu pengecut untuk
mengutarakannya.
Paragraf
ini menghentikanku untuk terus membacanya. Aku penasaran dengan pemilik blog
ini. Kubuka profil lengkapnya yang bernama Onir black coffee itu, nama yang
aneh namun apabila Onir itu dibalik maka kudapati nama Rino di sana. Benar
saja, foto yang terpasang adalah foto Rino. Aku senang sekali, Rino selama ini
mencintaiku dan aku tidak tahu itu. Betapa beruntungnya aku. Aku segera meraih
handphone untuk menghubunginya, namun nomornya sedang tidak aktif. Berulang
kali aku mencoba menghubunginya dan tetap saja sama. Ting tong suara bel pintu mengagetkanku, kumelangkah keluar untuk
membukakan pintu. Seorang pria membawa sekotak paket.
“Emilia Lusiana?” tanyanya padaku.
“Benar saya sendiri, ada apa pak?”
“Ini ada kiriman paket, tolong tanda
tangan di sini” ia menyodorkan kotak paketan dan selembar kertas yang harus
kutandatangani. Aku menandatanganinya dan menyerahkan kertas itu kepadanya
lagi. “Terima kasih, saya permisi dulu” ucapnya sopan. Aku masuk ke dalam rumah
untuk membuka paketan yang baru saja kuterima. Sekotak paket yang membuatku
penasaran. Di dalamnya kudapati sebuah novel berjudulkan “Pemanis Kopi Hitam teruntuk Emil” oleh penulis Rino Lusian. Aku terharu
sekali, kubaca novel itu dari awal hingga akhir. Kisah aku dan Rino mulai dari
awal pertemuan hingga berujung pada kopi yang selama ini menemaninya menuliskan
sepanjang kisah diantara kami. Aku tidak pernah bosan membaca novel itu,
berkali-kali aku membacanya berulang-ulang. Dengan begitu aku merasa Rino
berada dekat denganku meski aku tak tahu di mana dia sekarang.
Sore itu orang tuaku pergi entah ke
mana, aku sendirian di rumah. Tiba-tiba ada pesan masuk cepatlah
ke warung Mak Marni dari Rino. Aku begitu senang dan segera mungkin pergi menuju
warung mak Marni. Penampakan apa yang aku lihat benar-benar luar biasa. Warung
mak Marni berhiasan bunga-bunga mawar dan balon-balon penuh warna. Aku masuk ke
dalamnya dengan hati berdebar-debar. Lilin-lilin kecil menyambut setiap
langkahku. Begitu romantis sekali. Aku melihat sekeliling, ada banyak orang di
sana. Ada ayah, ibu dan juga orang tua Rino, mereka semua ternyata berada di
sini. Tak juga kelewatan Mak Marni yang stay
di kursi paling kiri memandangku penuh haru. Namun aku tak dapat menemukan
Rino. “Kenapa semua ada di sini? di mana Rino?” tanyaku pada semua orang.
“Lusi, apa kau tidak tahu keadaan Rino saat ini?” jawab ibu Rino mendekatiku
dan menyentuh bahuku. “Apa yang terjadi pada Rino? Di mana dia ? dia menyuruhku
datang ke sini. itu berarti dia ada di sini” aku mulai panik mendengar
kata-kata dari ibu Rino.
“Kau benar Lusi, aku di sini.
Keadaanku saat ini adalah benar-benar mencintaimu” Rino memelukku dari
belakang. Ia menyodorkan bunga di hadapanku.. semua orang di sana bersorak
bahagia. Aku meneteskan air mata yang penuh dengan kebahagiaan. Rino yang
kucinta kini menyatakan cinta untukku. Aku mencintaimu Rino.