Sabtu, 20 Mei 2017

Tiga Kembar Kawanku yang Lucu


 

Sekarang di laptopku pukul 23:33 WIB, Sabtu 06 Mei 2017. Lagu Nelongso (See you again versi Jawa) sedang kudengarkan. Karena ini malam Minggu dan nggak ngaruh dengan aktivitasku jadi aku putuskan untuk menulis sesuatu yang selama ini aku rindu. Akan aku ceritakan tentang tiga saudara kembar yang pernah mengisi hidupku. Sebenarnya jumlahnya lima, dua lagi mati saat baru lahir, mungkin diterkam ayahnya atau bagaimana aku tidak tahu kronologisnya. Yang aku kenal hanya John, Romni dan Agus. Mereka saudara kembar yang kurang akur, karena tidak pernah yang namanya pergi bersama-sama, selalu sendiri-sendiri entah di mana itu. Saat itu aku masih SD dan rumahku belum pindah-pindah seperti sekarang. Sudah sangat lama sekali ya. Hmmm… aku mulai rindu.

 Baik kita mulai. John, Romni dan Agus. Tiga serangkai yang sering bermain denganku. Mereka serumah denganku. Jangan heran, mereka tidak memakan tempat banyak meski rumahku sempit. Aku suka dengan keberadaan mereka. suasana di rumah tambah menyenagkan. Ketika aku memberi mereka makanan, mereka selalu memakannya dengan rebutan. Harusnya tidak, karena makanannya tidak terlalu sedikit dan menjamin mereka tidak akan kekurangan, mungkin mereka merasa senang dengan begitu. Mereka tumbuh remaja. Sudah mulai suka bepergian sendiri-sendiri. Aku suka membiarkan mereka pergi bermain karena nanti juga akan kembali lagi. Namun pada suatu hari aku tidak menjumpai Romni pulang ke rumah. Di mana dia? Masihkah bermain? Kenapa tidak kunjung pulang? Aku khawatir karena John dan Agus sudah ada di rumah. Mereka tidak bermain bersama aku tahu itu, lalu kemana perginya Romni? Saat itu aku tidak tahu keberadaannya hingga berhari-hari. Romni tak kunjung kembali dan aku mulai merasa kehilangan. Mau gimana lagi, mungkin Romni menemukan tempat yang lebih nyaman, pikirku pendek. Tinggal John dan Agus. Agus di sini lebih banyak diam dari pada John. Keduanya berbeda watak. John ssangat aktif sedangkan Agus tidak. Tapi aku tetap menyayangi keduanya.

Suatu hari kejadian Romni menimpa Agus. Aku mencari Agus kemana-mana yang tidak kunjung pulang. Di mana sebenarnya mereka. Kenapa menghilang begitu? Kini kuharap John tidak ikut-ikutan mereka. Semoga John betah tinggal denganku. Semenjak itu aku sangat dekat dengan John. Tidur bersama, bermain bersama bahkan setiap pagi aku memberinya minyak ikan agar ia tetap memiliki nafsu makan meski saudaranya meninggalkannya. Ia mulai menyukai sayuran seperti kol dan wortel, kadang juga memakan mie atau kering dari tahu. Apa saja ia makan. Aku mulai merasa bahwa John sangat lucu dan aku suka.

Suatu hari ketika aku sedang keluar dan melewati gang kecil agar lekas sampai ke rumah aku menjumpai Agus sendirian di pojok gang. Dia tidak mengenaliku dan tragisnya tubuhnya melepuh dan mengelupas. Hampir sekujur tubuh. Matanya, matanya tidak normal seperti biasanya. Dia buta, dia buta… rasanya aku ingin menangis melihat kondisinya seperti itu. Siapa yang melakukannya? Kenapa tega sekali melakukan itu pada Agus yang baik? aku sedih. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Agus tidak mau kuajak pulang, aku mencoba memaksanya tapi gagal. Ia tidak bisa melihat lagi. saat aku tiba di rumah aku berpikir bahwa John mungkin rindu dengan Agus, mungkin ia ingin bertemu. Lalu kubawa John bersamaku untuk menemui Agus yang keadaannya sangat buruk. Saat melihat Agus apa reaksi John? Dia lari seperti ketakutan, seolah itu bukan saudaranya, mungkin John tidak mengenali Agus karena aku sendiri juga tahu Agus berubah sekali fisiknya. Aku sedih melihat adegan itu. John menghindar dari Agus. Akhirnya aku membawa John pulang kembali. Aku tidak bisa membawa Agus karena ia menolak. Ya sudahlah aku akan sering mengunjungi Agus.

Aku kembali tinggal bersama John dan menghabiskan waktu bersama John. Senang sekali masih ada kawan bermain yang lucu seperti John. Setelah sekian lama akhirnya aku mendengar kabar bahwa Romni menghilang karena kabur. Romni kabur dari rumah disebabkan ia sering dipukuli tetanggaku menggunakan gagang sapu. Oh.. sungguh malang nasib Romni. Di mana kau saat itu Romni? Aku rindu.

Entah kapan itu aku lupa, John mulai jarang pulang ke rumah. Hingga ia benar-benar kunyatakan hilang. Ya John akhirnya ikut menghilang. Hmmmm aku bisa apa. Ada yang melihat John tertabrak motor di depan jalan gang. Semua isi perutnya keluar. Ya Allah ngilu sekali. Aku masih berharap bahwa itu bukan John. Tapi aku tidak berani memastikannya. Dan yasudahlah. Aku menjalani hidupku tanpa mereka hingga kini.

Dari semua itu aku masih bisa ingat jelas kenangan maniku dengan John. Ia suka naik ke atas kasur dan tidur di bawah kakiku, ngusel-ngusel gitu. Pernah juga ia tidur di sofa , karena warna sofa dan warna bulunya hampir sama maka ia begitu samar tidur di sana, dan ibuku yang tidak menyaadarinya kemudian mendudukinya, hahaha saat itu benar-benar lucu. Ada lagi saat aku menggoda John dengan makanan yang aku ikatkan dengan benang lalu menggantungkannya di atas kemudian ia mencoba meraihnya dan aku menggerakkan benang itu. kulihat John bisa berjalan menggunakan dua kai meski tidak lama. Dan aku mendengar orang yang membuat keadaan Agus malang adalah Nenek yang tidak bisa kau sebutkan namanya, ia tinggal di gang tempat Agus berdiam diri. Apa yang ia lakukan kepada Agus? Ternyata ia menyiram Agus dengan air panas, sungguh jahat aku benci. Beberapa hari kemudian Agus menghilang dari gang itu entah kemana.

Itulah sepenggal kisah tentang tiga kucing kembar yang pernah menjadi kawan bermainku. Apapun yang terjadi aku berharap kejadian semacam itu tidak menimpa kucing-kucing lain di dunia ini.

Selasa, 18 April 2017

Can't Called Love


“Hhhh…” aku menghela nafas, kupandangi sejenak foto pemuda yang sudah membuat hati ini merasa gundah. Sudah hampir lima tahun aku menyimpan rasa kepada pemuda itu, dan selama itu juga aku tidak pernah mendapatkan hatinya. Dia adalah teman sekolahku disaat aku masih duduk di bangku SMP. Dulu aku tidak pernah tahu bahwa hatiku akan terpaut sangat cepat seperti sambaran kilat. Bahkan aku tidak tahu watak yang dimiliki pemuda itu, Rifa namanya. Aku masih ingat dengan jelas kali pertama aku melihat wajahnya. Ekspresi yang datar dengan tatapan teduhnya, dan gingsul yang menambah pesona si Rifa ini.

Aduhai.. mengapa bukan aku dulu yang mengenalnya, mengapa justru sahabat dekatku yang tahu tentang diri Rifa, oh mengapa?.

“Eh Lan tau ga, tadi pagi aku berpapasan dengan Rifa lagi lho.” celoteh Fitri di pagi hari memecahkan kantuk yang masih menggelayutiku.

“Rifa mulu yang kamu ceritain, nggak ada yang lain aja sih. Lagian aku juga nggak tau orangnya. Aku tidak bisa menikmati ceritamu itu.” jawabku malas masih dengan nada orang bangun tidur.

“Ntar kalau orangngya lewat di depan kita, aku kasih tahu dehh, cakep kok.”

“Hmm iya iya percaya.”

Bosannya minta ampun punya sahabat super alay dan cerewet seperti si Fitri ini, tapi meskipun begitu ia tetap sahabat yang baik dan penuh perhatian. Apalagi kalau pas ada maunya, wajah sok manis yang menjadi andalan untuk merayuku agar kemauannya dapat terpenuhi langsung dipasang sedemikian rupa. Wajar saja dia adalah anak tunggal dari keluarga kaya. Manja adalah watak dasarnya, namun masih ada sifat mandiri terselip di dalam dirinya.

Teeet….. teeeettt….!!

Bel istirahat berbunyi keras, cukup untuk membangunkan mata-mata yang tengah berjuang menahan rasa kantuk dari bosannya menerima pelajaran. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk menghilangkan rasa penat yang sudah singgah beberapa jam lalu. Fitri mengajakku pergi ke kantin untuk membeli es teh manis. Tak ada yang bisa menduga, hari itu adalah hari dimana aku melihat wajah Rifa untuk pertama kalinya. Mengetahui Rifa sedang berjalan di depan kami, Fitri langsung membisikiku dan memberitahu akan sosok Rifa. Aku melihat orang yang dimaksud itu. Deg… jantung ini berdetak tak karuan, tak sengaja mataku dan mata Rifa bertatapan. Kali pertamanya aku merasa bahwa dada ini berdebar begitu cepat, segera kukondisikan sikapku karena aku tidak mau Fitri mengetahui apa yang sedang kurasakan. Aku tersenyum simpul pada Fitri. Memberi isyarat kalau aku sudah tahu orang yang dimaksud.

Oh Rifa.. andai kamu tahu aku menyimpan rasa ini sendirian, tak ada satu orang yang mengetahuinya.

Aku tak sanggup berbicara masalah cinta, dengan siapapun itu. Namun rasa itu selalu menggangguku. Membuatku sulit tidur karena harus memikirkan rupamu yang menawan. Membuatku sulit berjalan ketika aku harus berpapasan denganmu. Berhari-hari aku harus menerima cerita yang membuatku cemburu, sahabatku sendiri mencintaimu, dan aku sadar dialah yang berhak karena dia yang mengenalmu lebih dulu dibanding aku. Naïf rasanya mengatakan kalau aku mengenalmu, bahkan bercakap padamu saja belum pernah kurasakan.

“Fit, antar ke kamar mandi yuk.” ajakku pada Fitri teman sebangkuku.

“Males ah, pergi sendiri ya.”

“Hmm.. ya udah.”

Akupun beranjak pergi ke kamar mandi sendirian, sialnya kamar mandi dekat kelas sedang penuh. Kuputuskan untuk pergi ke kamar mandi depan kantor guru. Dari jauh kulihat Rifa sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya tepat di  depan kantor. Langkahku semakin ragu, tubuhku bergetar, pelan, semakin pelan langkah ini, dan Deg.. Rifa melihatku dari kejauhan. Tingkahku berubah menjadi aneh, aku clingukkan mencari tempat dan kutemukan lorong bawah tangga untuk bersembunyi dari Rifa. Kenapa aku harus bersembunyi? Entahlah saat itu aku merasa aku harus bersembunyi dari pandangan mata Rifa,karena kalau tidak sikapku akan berubah tambah aneh. Aku masih ingat jelas kejadian itu, malu.. dan mungkin itu hal yang konyol untuk dikenang kembali. Lagi-lagi aku tidak bisa melupakan sosok Rifa yang selalu menggetarkan jiwa. Setelah beberapa menit, tubuhku kembali normal dan tidak lagi bergetar, aku putuskan saja untuk kembali ke kelas dengan seribu langkah aku lari menuju kelas.

“Kenapa lari-lari Lan?”

“Oh, tadi aku melihat ada Bu Dewi, jadi aku lari deh.” akupun berbohong pada Fitri.

“Hahaha.. untung nggak jadi korbannya kamu.”

Bu Dewi adalah guru yang suka sekali mengomentari muridnya yang tidak rapi. Entah itu bajunya, sepatunya, rambutnya, atau apalah. Beliau tak segan-segan memarahi anak didiknya walau itu di depan banyak orang, jadi banyak yang takut saat bertemu dengannya.

Tidak bisa seperti ini, harus ada orang yang tahu mengenai perasaanku, dan itu tentu bukan Fitri.

Sepulang sekolah aku menemui Orin teman dekatku dari kelas tujuh hingga sekarang. Aku berniat untuk mencurahkan isi hatiku padanya.

“Rin, aku mau curhat nih.”

“Curhat apaan? Tumben banget kamu curhat, lagi kesambet apa?”

“Serius nih.”

“Iya-iya aku dengerin kok.”

Saat aku akan memulai berbicara, aku melihat Rifa keluar dari kelas temanku itu.

“Eh.. emm dia satu kelas denganmu ya?” tentu yang kumaksud adalah Rifa.

“Oh.. iya Rifa kan? Kamu kenal? Sebenarnya aku menyukainya loh, dia itu anak yang sholeh dan pintar dalam hal hitung menghitung. Nilai matematika dan fisikanya saja sangat bagus. Aku kagum padanya. Sayang sekali dia orangnya cuek, tidak pernah respek dengan yang namanya perempuan. Sebel deh.”

“Oh.. jadi kamu menyukainya?”

“Hehe, iya jangan bilang siapa-siapa, aku sering smsan dengan dia, membahas bola atau apalah yang ia sukai dan aku juga menyukainya.”

“Oh begitu ya.”

“Iya, tadi kamu mau curhat apa, kok jadi aku yang curhat sih.”

“Apa ya? Ah kamu sih banyak cerita, jadi aku lupa mau curhat apa nih.”

“Ah nggak asyik ah pake acara lupa segala.”

“Ya, mau gimana lagi, kapan-kapan aja kalau gitu. Aku pulang dulu ya.”

Tidak kusangka banyak sekali yang menyukaimu, rasa yang aku punya ini apakah penting bagimu? Aku rasa tidak. Kau adalah permata dan aku hanya serpihan debu yang tak pantas disandingkan denganmu. Hingga saat ini aku masih saja merasa seperti itu.

Di jalan, aku melihat kamu sedang mengayuh sepeda jengki tua, tepat di depanku. Menatapmu dari belakang saja itu sudah hal yang sangat menyenangkan. Kalau saja kita kenal, aku bisa mengobrol lama denganmu.

Dari dulu aku selalu yakin kalau rasa ini akan tersampaikan kepadamu, entah sampai kapan dan detik ini juga aku merasa kalau rasa itu tidak akan padam dari hatiku.

Mungkin Tuhan mulai kasihan padaku, seolah ia memberiku kesempatan untuk lebih dekat denganmu. Masih ingatkah kamu? Kita dulu satu ruangan saat try out dan ujian. Aku berada di depan ujung kiri, dan kamu di ujung kanan. Aku yang memulai lembar presensi dan kamu yang akan mengumpulkannya ke meja pengawas. Sesekali saat ujian berlangsung, aku mencuri pandang padamu. Hingga aku tertangkap basah olehmu. Akupun pura-pura meminta jawaban padamu. Tentu dengan berhati-hati supaya pengawas tidak mengetahuinya. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk berinteraksi denganmu. Aku selalu bertanya padamu, begitu sebaliknya kau padaku. Aku senang sekali Tuhan, kala itu aku bisa merasa lebih dekat denganmu meski hanya ketika di dalam ruangan.

Kelulusan, saat dimana aku sudah bisa melupakan sejenak rasaku padamu. Aku fokus pada sekolahku di tingkat SMK. Aku bisa melupakanmu sejenak, tidak terlalu berharap dan mulai terbiasa. Menjalani hari-hariku layaknya perempuan normal yang tidak sedang dilanda rasa cinta. Aku mengikuti ekstra karate untuk menambah kegiatan. Teman baru dan pengalaman bisa kudapatkan di sana. Aku berteman dengan banyak orang, dan mereka adalah orang-orang baik. Aku satu sekolah dengan Orin, namun kami berbeda jurusan. Aku mengambil jurusan Akuntansi, sedang dia di perbankan syariah. Meski begitu kami tetap berteman baik, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Kami adalah sahabat dekat yang saling berbagi keluh kesah.

“Wulannnn..”

“Eh Orin, ada apa?”

“Ntar pulang bareng ya, tunggu aku di kantin. Oke?”

“Oh, siap deh.”

Aku dan Orin pulang bersama, menaiki sepeda dan mengobrol sepanjang jalan. Hemm begitu indah ya sebuah persahabatan.

Suatu hari Orin mengatakan padaku kalau dia semakin sering smsan dengan Rifa, mendengar curhatan itu kini rasa suka kepada Rifa datang kembali menyergapku.

Ahh kenapa Orin harus membahas si Rifa.

Rasa yang sudah mulai pudar, kini mulai terlihat kembali. Hanya karena nama “Rifa” sering kudengar dari mulut sahabatku Orin. Mendengar namanya saja aku sudah berdebar-debar, tapi aku hanya bisa apa? Sebagai sahabat yang baik aku harus mau mendengarkan curhatannya kan? Begitulah tugas seorang sahabat.

“Eh Lan, bete nih.” Orin menggerutu cemberut.

“Emang ada apa sih Rin?” aku meletakkan teh manis di meja dan mulai mendengarkan keluhan dari sahabatku ini.

“Itu si Rifa.” wajah Orin Nampak sangat kecewa dan kesal.

Ehh ? Rifa? Ada apa dengannya? Hemmm.. Rifa Rifa.. laki-laki seperti apakah dirimu itu? hingga membuat banyak hati jatuh padamu. Termasuk aku ini hehe.. dasar cinta, datangnya tiba-tiba eh perginya kok susah ya.

“Kenapa si Rifa?” tanyaku penasaran.

“ternyata Rifa sudah punya pacar lan, hwaaa rasanya pengen nangis sambil teriak-teriak!” tangan Orin memukul-mukul meja kantin walau tidak begitu keras, hanya sebagai lambang bahwa dia sedang kesal saat itu.

Aku melongo kaget, seolah tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

“Apaaa…???, masak? Yang bener aja, katamu dia laki-laki yang sholeh? Kok punya pacar segala sih?”

“Nah itu, awalnya aku juga tidak percaya, tapi tidak mungkin seorang Rifa berbohong. Parahnya, perempuan yang beruntung itu satu sekolah sama kita.”

“Satu sekolah? Kamu tahu orangnya yang mana?”

“Tidak, aku hanya tahu kalau namanya itu Fatma, dan dia mengambil jurusan pemasaran,”

Beruntung sekali si Fatma ini, dari beberapa hati, eh dialah yang bisa menggenggam hati sang pangeran.

“tapi kata si Rifa, hubungannya akhir-akhir ini sedang tidak baik dengan Fatma.” Orin menambahkan.

“Lho, kenapa?”

“Fatma mau dijodohin sama orang tuanya, hahaha.. aneh-aneh saja. Ini zaman apa masih ada acara begituan, iya kan?”

Apakah ini artinya aku masih diperbolehkan berharap kepadamu Rifa? Ah.. entahlah..

“Oh begitu ya.. yee kamu masih punya kesempatan dong.” 

Benar-benar munafik ucapanku ini. Sok tegar, cih..

“Hem, tapi dia sangat mencintai Fatma, semenjak SD dia sudah suka dengan Fatma, tidak mungkin akan melupakannya begitu saja lan.”

“Yah yang sabar aja ya”.

Kata-kata ini aku ucapkan sekaligus untuk diriku sendiri.

Sok tegar, sok menjadi penguat untuk sahabatnya sendiri. Itulah aku, tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Lagian aku juga tidak mengenal Rifa secara resmi, kita hanya saling tahu. Itu juga karena dulu, saat aku ketangkap basah memandanginya di ruangan ujian.

Aku berjalan menuju kelas, karena waktu istirahat akan berakhir. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan Rida, temanku karate.

“Lan ntar sore berangkat karate kan?”

“Oh iya, tunggu aku ya.”

“Iya, ntar aku tunggu di pinggir lapangan.”

“Sip.”

Sore itupun aku mengikuti latihan karate, lelah sekali rasanya. Namanya juga latihan bela diri, ya pasti akan capek. Seusai latihan, aku dan teman-teman baruku ngobrol-ngobrol sejenak sambil menghilangkan keringat.

“Eh aku duluan ya, takut nggak dapat angkutan nih.” Rida pamit duluan.

“Oh iya, hati-hati ya.” aku dan teman yang lain menyahuti.

Satu persatupun pergi meninggalkan tempat latihan, tinggalah aku berdua dengan temanku yang bernama Dwi, anak jurusan perkantoran.

“Eh Lan, rumahmu di mana?”

“Sunggingan, kenapa?”

“Oh dekat berarti dari sini, temani aku ya hehe”

“Temani apa nih?”

“Nungguin temanku yang lagi paduan suara di aula, kami boncengan. Kebetulan satu desa.”

“Oh, oke. Rumahmu di mana?”

“Pasuruan Kidul.”

Pasuruan kidul?? Jangan-jangan tetangganya Rifa hehe.. Rifa lagi Rifa lagi yang muncul. Tapi memang iya, dia tinggal di desa tersebut. Aku tahu dari Orin, siapa lagi kalau bukan dia sumber informasiku.

Tiba-tiba datang seorang perempuan, ia langsung duduk di dekat Dwi.

“Eh lama ya nunggunya? Hehehe.” sambil cengengesan perempuan itu berbicara pada Dwi.

“Luama bianget deh” dengan logat lebay Dwi menjawab.

“Maaf deh.”

“Ini yang kamu tunggu?” akupun bertanya.

“Iya, kenalin nih Lan temanku.”

“Fatma” dia tersenyum ke arahku, senyumnya manis kala itu.

“Wulan,” aku membalas senyumnya, “jurusan apa?”

“Pemasaran, kamu?”

Ha?? Pemasaran? Namanya Fatma dan rumahnya? apa jangan-jangan gadis ini adalah… tidakkkkkkkkk!!! Hatiku berteriak-teriak sendiri.

“Ehh aku akuntansi.”

Apa benar gadis ini adalah pacar dari sang pangeran, ups Rifa maksudku. Jelas dibandingnya aku jauh, jauh sekali. Kontras! Apa aku tanyakan saja ya tentang Rifa, baiklah.

“Kamu tinggal di Pasuruan Kidulkan?”

“Iya, kenapa?”

“Kenal dong sama yang namanya Rifa”

“Rifa? Kamu kenal dengan Rifa?”

Benar dugaanku, si gadis yang beruntung sekarang ada di hadapanku, dan aku bercakap-cakap dengannya.

“Bukan aku, tapi temanku yang kenal. Dulu kami satu SMP.”

“Oh teman kamu, kirain kamu.”

“Jadi kamu itu pacarnya ya?”

“Pacar? Apa dia masih menganggapku sebagai pacarnya ya?”

“Sepertinya masih, dari cerita temanku kelihatannya kamu adalah gadis yang sangat spesial di hati Rifa.”

“Tuh kan benar, si Rifa itu masih suka kamu ma, kamu sih dibilangin nggak percaya.” Dwi menambahi.

“Teman kamu dekat dengan Rifa? Terus Rifa bilang apa lagi sama temanmu itu?”

“Katanya sih, hubungan kalian lagi nggak baik.”

“Dasar Rifa, bikin malu aja.”

“Kamu masih menyukainya?”

“Kami dulu selalu bersama, semenjak SD. Aku sering main ke rumahnya hanya sekedar untuk belajar kelompok. Apa lagi soal matematika, Rifa selalu mengajariku.”

“Oh begitu.”

***

Suatu hari ada nomor yang tidak kukenal mengirimiku pesan.

Hai

Sinten ? Siapa? Balasku sopan.

Lama kumenunggu balasan, namun tidak ada balasan yang masuk. Aku penasaran sekaligus jengkel, karena selama ini yang tahu nomorku hanyalah orang-orang terdekat saja. Aku kirimkan pesan yang cukup kasar pada nomor itu.

Ini siapa? Kalau tidak mau mengaku jangan  ganggu atau sms ke nomor ini lagi !.

Kukirimkan pesan itu, kemudian dia membalasnya.

Maaf sebelumnya, aku Rifa.

Terkejut, senang, namun aku merasa bersalah sudah kasar padanya.

Maaf sudah kasar kepadamu.

Iya nggak apa apa.

Malam itu aku tidak bisa tidur karena mendapat pesan dari sang pangeran yang selama ini kunantikan.

Ohhhh betapa bahagianya.

Keesokannya aku bercerita kepada Orin perihal Rifa yang mengirimiku pesan, Orin menanggapinya dengan santai karena Orin bilang kalau Rifa pernah meminta nomorku darinya.

“Sepertinya Rifa tertarik padamu deh Lan.”

“Ah kamu jangan mengada-ada begitu, apa kamu tidak cemburu kalau dia menyukaiku?”

“Cemburu? Nggak bakalan deh.. sekarang aku udah jadian sama Hardi sahabatku, kebetulan dia satu kelas sama Rifa di sekolahnya.”

“Apa? Jadi kamu udah nggak ada rasa lagi gitu sama Rifa.”

“Nggak ada, aku sadar selama ini perasaanku bukanlah sebuah cinta namun sebatas kagum, gimana kalau kamu aja yang jadian sama Rifa.”

“Kamu gila ya, dia kan udah punya Fatma.”

“Kamu belum tahu ya, Fatma itu tidak sebaik yang dipandang Rifa, dia mencintai sahabatnya Rifa bahkan sudah jadian juga. Padahal sahabatnya Rifa itu juga satu desa sama Rifa. Dia benar-benar nggak tahu malu”

“Kamu tahu dari mana? Jangan ngegosip gitu deh.”

“Hei aku ini Orin, sumbernya segala informasi mengenai percintaan masa kini, kalau nggak percaya lihat tuh facebooknya Fatma.”

Benar juga, ketika aku membuka facebook, Fatma mengupload beberapa foto bersama sahabatnya Rifa, Abdul namanya, bahkan status di facebooknya sudah menikah bersama Abdul. Tiba-tiba aku mendapat satu obrolan dari Rifa. Semakin hari kami semakin dekat di facebook. Kami sering smsan dan saling menyukai postingan. Hingga akhirnya Rifa mengutarakan cinta kepadaku lewat pesan facebook, hal bodoh yang pernah kulakukan adalah menerimanya atas saran dari Orin. Siapa juga yang tidak senang kalau orang yang dicintainya juga mencintai kita, begitu pula aku. Aku sangat senang dan bahagia sekali kini menyandang status pacaran dengan Rifa.

Namun yang ada di antara kami hanyalah sebuah status, status tanpa hubungan yang nyata. Hampir satu bulan kami hanya saling kirim pesan, tidak lebih. Tidak ada yang namanya telfonan, ketemuan atau jalan bareng. Hingga suatu hari aku mendapat kabar bahwa Rifa masih mengirimkan pesan kepada Fatma, akupun sadar bahwa Rifa tak bisa melupakan Fatma dengan mudahnya seperti aku melupakan Rifa. Aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Rifa apakah dia masih mencintai Fatma atau tidak, meski lewat sms. Rifapun menjawab bahwa dia masih sayang kepada Fatma, dan semenjak itu status tanpa hubungan ini aku akhiri. Aku mencoba menjalani hidup tanpa memikirkan Rifa, Orinpun menyemangatiku agar aku bisa move on dari sang pangeranku itu. Aku fokus dengan sekolahku dan tidak mau lagi terlibat cinta sampai aku sukses kelak.

Kini aku sudah berumur 19 tahun, itu artinya sudah 5 tahun semenjak aku mencintai Rifa dan sekarang belum ada yang mampu menggantikannya di hatiku dan entah sampai kapan akan terus begini. Kuselipkan kembali foto Rifa yang selama ini aku simpan di dalam buku harianku. Pada intinya, hidup bukanlah tentang cinta yang tak terbalas, karena yang namanya cinta tidak akan ada pihak yang tersakiti.
Cerpen ini pernah saya ikutkan lomba di sebuah penerbit via online (meskipun bukan juara :D ).

Senin, 20 Maret 2017

Pemanis Kopi Hitam



            Aku sudah pernah terjebak dalam berbagai masalah, mulai dari masalah kecil hingga terbesar sekalipun. Aku mahir dalam menghadapi berbagai masalah, namun kini aku terjebak dalam sebuah harapan yang entah sampai kapan ujungnya. Apakah nasib harapanku ini akan seperti sinetron-sinetron yang sedang marak ditayangkan di televisi, tidak pernah berujung dan selalu berbelit-belit. Intinya tidak akan kelar. Kuharap tidak. Karena kuyakin semua harapan memiliki jawaban.

            Sore itu dia menghubungiku, Rino namanya. Lagi-lagi ia hanya memintaku untuk menemani ngopi di warung milik Mak Marni. Seperti biasa, aku tidak bisa menolak meski ujung-ujungnya aku hanya menjadi obat nyamuk di sana. Karena hanya itu satu-satunya alasan aku bisa berada dekat dengannya. Tidak peduli dia beranggapan ini adalah sebuah kedekatan atau tidak. Aku duduk di depannya membaca novel. Sebenarnya novel ini hanyalah alasan supaya aku bisa mencuri pandang darinya tanpa ia sadari. Melihatnya sibuk sendiri dengan laptop dan sesekali menyeruput kopi hitam kesukaannya itu. Entah apa yang ia sedang kerjakan, ia selalu saja bilang itu tugas dari dosen. Aku saja tidak pernah sesibuk itu jika mendapat tugas dari dosen. Sesekali memang sibuk, namun tidak untuk berterusan.

            “Mengapa kau suka sekali minum kopi?” tanyaku padanya mencairkan suasana.

            “Kopi ini manis, aku menyukainya.” jawabnya masih sibuk pada laptopnya.

            “Bukankah kopi ini kopi hitam? Aku kira ini rasanya pahit.”

            “Tidak, ini manis. Coba saja kalau tidak percaya.”

            “Tidak ah, aku tidak suka kopi hitam.”

            “Hmm ya sudah.” jawabnya datar.

            Dengan hati kesal aku pamit untuk pulang duluan, awalnya ia tidak mengizinkanku pulang karena hari sudah mulai gelap. Namun aku beralasan bahwa aku sudah mengantuk dan ingin cepat tidur. Kukira dengan begitu dia akan menawarkan dirinya untuk mengantarku pulang, tetapi namanya juga Rino. Ia membiarkanku pulang sendirian. “Hati-hati pulangnya” ucapnya datar memandangku lalu kembali mengetik-ngetik entah apa yang diketik itu. aku pun pulang meninggalkannya. Sampai di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di atas Kasur. Memejamkan mata sejenak. Tling…  handphoneku berbunyi, ada pesan yang masuk. Kubuka pesan itu ternyata dari Rino jangan langsung tidur, cuci kaki dan tanganmu dulu inilah yang aku suka darinya. Seolah ia mengikutiku setiap kali aku menuju rumah. Mengikutiku? Memang siapa diriku diikutinya.

            Sore yang sama, aku menunggu pesan darinya. Biasanya jam segini ia akan mengirimiku pesan untuk mengajak ke warung Mak Marni. Hari sudah mulai petang, ia tak jua mengirimiku pesan. Aneh, tidak seperti biasanya. Aku sudah terbiasa diajaknya pergi ngopi. Di mana dia sekarang? Tling pesan masuk dari Rino, jangan gelisah, aku ingin ngopi sendirian dulu hari ini. Maaf ya. Sialan! Batinku. Seolah dia tahu kalau aku menunggunya. Sejujurnya aku ini memang mencintainya dan aku mengharapkannya. Tapi aku tidak berani untuk menunjukkan cintaku, karena aku tahu ia hanya menganggapku teman. Anehnya aku tidak berhenti berharap padanya, meski tidak ada yang tahu tentang harapanku ini padanya.

            Sore berikutnya aku tidak lagi mendapat pesan dari Rino, sama sekali tidak. Tidak mengajak ngopi juga tidak memberi tahu bahwa ia ingin ngopi sendirian. Sudahlah, apapun yang ia lakukan aku mencoba untuk tidak peduli. Seminggu kemudian ia baru menghubungiku, katanya ia harus pergi ke kota untuk beberapa hari mengurus sesuatu, entah apa itu. aku coba untuk tidak peduli walau sebenarnya aku penasaran dan ingin sekali berjumpa padanya. Aku terlampau bosan dalam mengkhawatirkannya serta merinduinya. Kuhilangkan bosanku ini dengan membuka-buka internet. Entah apa yang ingin kucari aku bingung. Kuketikkan tulisan ‘Kopi Hitam yang Manis’ di mesin pencarian. Salah satu alamat blog muncul paling atas, aku penasaran dan membukanya. Kubaca perlahan-lahan semua tulisan dengan background yang cukup menarik itu. seolah memang didesain untukku, aku menyukainya. Aku mulai merasa bahwa tulisan itu berkisah tentangku.

            Aku selalu menikmati kopi hitam ini. Meski rasa yang muncul dilidahku adalah pahit, namun aku merasakan sesuatu yang manis, ia berada tepat di hadapanku. Duduk memandangku dan aku merasakannya. Untuk yang kesekian kalinya aku tidak berani membalas pandangannya. Emil, seorang gadis yang kukenal satu setengah tahun lalu di kampus. Wajah lelahnya ketika sedang dikerjain senior masih bisa kuingat dengan jelas.

            Paragraf itu benar-benar mengarahkanku pada Rino. Ia mengenalku ketika kami satu kelompok ospek dulu. Dan pertemanan kami berlanjut hingga saat ini. Dan nama Emil, ia pernah memanggilku dengan sebutan Emil awal-awal kami kenal dulu. Emilia Lusiana, itulah nama lengkapku dan orang-orang termasuk dia memanggilku Lusi. Hanya orang yang baru kenal saja yang memanggilku Emil. Aku mulai penasaran dan mencoba membaca post selanjutnya.

            Aku sadar ini adalah rasa cinta, dan aku tak ingin kehilangannya. Biarkan ia tetap menjadi temanku tanpa aku harus jauh darinya. Emil pemanis kopi pahitku dan segala inspirasiku. Kuharap ia tahu tentang perasaanku ini karena aku terlampu pengecut untuk mengutarakannya.

            Paragraf ini menghentikanku untuk terus membacanya. Aku penasaran dengan pemilik blog ini. Kubuka profil lengkapnya yang bernama Onir black coffee itu, nama yang aneh namun apabila Onir itu dibalik maka kudapati nama Rino di sana. Benar saja, foto yang terpasang adalah foto Rino. Aku senang sekali, Rino selama ini mencintaiku dan aku tidak tahu itu. Betapa beruntungnya aku. Aku segera meraih handphone untuk menghubunginya, namun nomornya sedang tidak aktif. Berulang kali aku mencoba menghubunginya dan tetap saja sama. Ting tong suara bel pintu mengagetkanku, kumelangkah keluar untuk membukakan pintu. Seorang pria membawa sekotak paket.

            “Emilia Lusiana?” tanyanya padaku.

            “Benar saya sendiri, ada apa pak?”

            “Ini ada kiriman paket, tolong tanda tangan di sini” ia menyodorkan kotak paketan dan selembar kertas yang harus kutandatangani. Aku menandatanganinya dan menyerahkan kertas itu kepadanya lagi. “Terima kasih, saya permisi dulu” ucapnya sopan. Aku masuk ke dalam rumah untuk membuka paketan yang baru saja kuterima. Sekotak paket yang membuatku penasaran. Di dalamnya kudapati sebuah novel berjudulkanPemanis Kopi Hitam teruntuk Emiloleh penulis Rino Lusian. Aku terharu sekali, kubaca novel itu dari awal hingga akhir. Kisah aku dan Rino mulai dari awal pertemuan hingga berujung pada kopi yang selama ini menemaninya menuliskan sepanjang kisah diantara kami. Aku tidak pernah bosan membaca novel itu, berkali-kali aku membacanya berulang-ulang. Dengan begitu aku merasa Rino berada dekat denganku meski aku tak tahu di mana dia sekarang.

            Sore itu orang tuaku pergi entah ke mana, aku sendirian di rumah. Tiba-tiba ada pesan masuk cepatlah ke warung Mak Marni dari Rino. Aku begitu senang dan segera mungkin pergi menuju warung mak Marni. Penampakan apa yang aku lihat benar-benar luar biasa. Warung mak Marni berhiasan bunga-bunga mawar dan balon-balon penuh warna. Aku masuk ke dalamnya dengan hati berdebar-debar. Lilin-lilin kecil menyambut setiap langkahku. Begitu romantis sekali. Aku melihat sekeliling, ada banyak orang di sana. Ada ayah, ibu dan juga orang tua Rino, mereka semua ternyata berada di sini. Tak juga kelewatan Mak Marni yang stay di kursi paling kiri memandangku penuh haru. Namun aku tak dapat menemukan Rino. “Kenapa semua ada di sini? di mana Rino?” tanyaku pada semua orang. “Lusi, apa kau tidak tahu keadaan Rino saat ini?” jawab ibu Rino mendekatiku dan menyentuh bahuku. “Apa yang terjadi pada Rino? Di mana dia ? dia menyuruhku datang ke sini. itu berarti dia ada di sini” aku mulai panik mendengar kata-kata dari ibu Rino.

            “Kau benar Lusi, aku di sini. Keadaanku saat ini adalah benar-benar mencintaimu” Rino memelukku dari belakang. Ia menyodorkan bunga di hadapanku.. semua orang di sana bersorak bahagia. Aku meneteskan air mata yang penuh dengan kebahagiaan. Rino yang kucinta kini menyatakan cinta untukku. Aku mencintaimu Rino.

Senin, 06 Februari 2017

Malam Itu


Malam itu, aku masih ingat dengan jelas bagaimana kejadiannya. Malam jum’at, ini bukan cerita horror yang dipenuhi dengan hantu-hantu narsis, ini kisahku sendiri. Kalau tidak suka, atau tidak tertarik sebaiknya anda abaikan saja atau berhentilah membacanya karena itu akan membuang-buang waktu anda. Baiklah bagi anda yang masih ingin membaca, aku akan meneruskannya.
Ketika itu jalan menuju kos sangat gelap, aku pulang dari kampus sekitar pukul 22.00, sangking gelapnya aku harus menyalakan senter yang ada di hpku. Yah, meski tidak seterang senter sungguhan setidaknya cukup untuk menerangi jalanku, daripada aku harus jatuh karena tersandung batu yang tidak bisa aku lihat. Aku akhirnya sampai di kosan, kubuka pintunya karena waktu itu belum ada yang menguncinya dari dalam, syukurlah aku masih bisa masuk tanpa harus menggegerkan penghuni kos yang lain. Aku mulai menaiki tangga menuju lantai dua karena kamarku terletak di sana, di ujung samping kamar mandi tepatnya. Teman sekamarku kebetulan pulang kampung dan aku harus tidur sendirian. Aku bersihakan dulu kamarku itu sebelum aku tertidur di kasur yang empuk meski agak tidak nyaman bagiku, terlalu sempit. Lorong kamar-kamar begitu sepi, tak ada pertanda suara kehidupan yang mampu menghiburku. Aku menyapu lantai kamarku dan menuju kamar mandi untuk membuangnya. Tempat sampah terletak di depan kamar mandi, aku membuang kotoran dari kamarku di sana. Awalnya aku merasa biasa saja, seolah memang tidak ada apa-apa. Aku mencuci muka, tangan dan kakiku lalu kembali menuju  kamarku untuk tidur. Ketika aku memejamkan mata dan mencoba untuk terlelap, aku tidak bisa. Ada yang aneh dengan perutku, aku merasa tidak nyaman dengan perutku yang ada di dalamnya, entah mengapa sepertinya ada yang meraung-raung di dalam sana dan aku tidak bisa mencerna raungan itu. aku bangun dari tidurku untuk merenung, apa yang terjadi denganku? kenapa seperti ini? Apa aku sedang sakit? Tapi rasanya tidak sakit, aku justru merasakan perih kepanas-panasan. Biasanya, dengan kondisi seperti ini aku harus memakan sesuatu untuk menghilangkan rasa perih itu. Aku meraih tas tempat makananku kusimpan, aku mencari mie instant tapi tak kutemukan di sana. Ternyata mie instantku sudah habis tiga hari yang lalu. Malam-malam begini aku harus mencari makanan kemana? Tidak akan ada yang buka kecuali angkringan yang menjual nasi kucing dan aku tidak akan baikan dengan makan makanan itu meski dua bungkus. Kuputuskan untuk menjadikan nasi yang ada di penanak nasi menjadi nasi goreng. Aku membawa semua bahan yang diperlukan untuk memasak, lalu menuruni tangga karena dapur terletak di bawah paling ujung. Aku melihat ada potongan tempe di atas kompor. Siapa malam-malam begini mau masak tempe? Pikirku sambal menata bahan-bahan dan barang yang akan kugunakan memasak. Aku meracik bumbu-bumbu yang kuperlukan. Tiba-tiba seseorang keluar dari salah satu kamar yang paling dekat dengan kompor. Kurasa ia yang akan memasak tempe itu. Aku menanyainya.

“Mau masak pake dua kompor mba?” karena di sana kompornya ada dua, dan kupikir dialah yang pantas memasak dulu dari pada aku yang baru menata bahan-bahan.

“Engga kok” jawabnya, aku melanjutkan memasakku tanpa menghiraukannya.

Kulihat dia seperti kebingungan, tapi aku tak tahu dia bingung kenapa, toh kompor yang satunya juga nggak ada yang memakai. Aku lanjut memasak saja karena perutku perihnya menjadi-jadi. Ia memperlihatkan wajah kesal dengan menggumam “terpaksa antri”. Aku yang mendengar itu bingung, tadi kutanya jawabannya begitu, tapi malah menggumam. Aku mengabaikannya saja. Ada yang tidak beres. Setelah masakanku jadi, aku langsung menuju kamarku lagi untuk mengobati perutku. Aku pun kenyang dan akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Sekian ceritaku yang tidak bermutu, kalau kalian menyesal telah membaca kisah ini, aku selaku penulis memohon maaf yang sebesa-besarnya. Aku hanya sedang ingin menulis tapi tidak memiliki ide apapun untuk ditulis, ya jadinya beginilah. Tidak penting sekali.

Rabu, 01 Februari 2017

Black Rose


Oleh : Inayah Wulansafitri

Tit tut.. Ponselku berbunyi tanda ada pesan yang masuk, dari nomor yang tidak kukenal.

Aku malam ini ingin bertemu denganmu

Maaf ini siapa? Aku membalas pesan itu.

Tidak ada balasan masuk, kuabaikan saja mungkin orang iseng. Mataku tertuju pada laptop yang seharian belum kusentuh. Hari Sabtu aku libur kuliah, dari pada tidak ada kerjaan mending aku chattingan, pikirku. Aku memang hobbi sekali chatting, sering kali aku chatting dengan orang luar negeri. Lumayanlah bisa mengasah kelancaran bahasa Inggrisku.

Ada obrolan baru, dari seseorang dengan menggunakan nama pengguna black_roses, foto avatarnya mawar hitam di atas api. Aku tidak pernah mengobrol dengan user ini sebelumnya. Dia menyapaku duluan.

Siang

Siang juga

Obrolan kami berlanjut lama karena si black_roses ini orangnya asyik, tidak membuatku jenuh. Kami banyak membahas hobi, dia hobi sekali melukis. Dari kecil suka sekali menggambar makanya ia sekarang ingin menjadi seorang pelukis ternama, begitu katanya.

Kenapa kamu tidak melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan seni rupa saja? Tanyaku

Iya aku memang sudah mendaftar di PTN yang cukup terkenal dengan jurusannya itu, tapi..

Tapi kenapa?

Tiba-tiba dia offline, belum sempat menjawab pertanyaanku. Ahh sudahlah mungkin dia lelah dan butuh istirahat, aku juga mau makan siang dulu. Akupun pergi ke warung sebelah untuk membeli sebungkus nasi dan lauk secukupnya. Aku melahapnya di kamar kos. Ponselku berdering, ada panggilan masuk datang dari nomor yang tadi mengirimiku pesan. Kuangkat

“Hallo??”

--------- Tidak ada jawaban dari seberang

“Hallo ini siapa?” Kuulangi lagi kata-kataku

“Kalau tidak penting aku matikan saja!” Gertakku sedikit jengkel

Akupun mematikan ponsel dan melanjutkan untuk makan nasi yang belum habis. Lumayan kenyanglah untuk mengganjal perutku. Aku beranjak pergi ke dapur yang letaknya tepat di depan kamar mandi untuk mencuci bekas piring yang kupakai makan tadi. Aku tersentak agak kaget dan juga heran melihat lantai dapur terdapat ceceran sesuatu berwarna hitam pekat. Aku ambil satu, kuperhatikan sejenak benda itu. kelopak mawar rupanya, tapi mengapa berwarna hitam? Dan mengapa berceceran di lantai dapur? Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang lewat di belakangku. Aku tengok ke belakang namun sudah tidak ada. Ada hembusan angin dingin, asalnya dari kamar mandi. Pikiranku sudah kemana-mana, segera aku berlari menuju kamar lagi. Kudekap erat-erat boneka lumba-lumba yang selalu menemani tidurku. Tak terasa aku tertidur cukup lama, karena saat aku terbangun hari sudah senja. Aku teringat aku belum mandi, tapi aku takut ke kamar mandi karena kejadian tadi siang. Kuberanikan diri untuk tetap mandi, karena tidak mungkin aku tidur dalam keadaan tidak mandi.

Akupun pergi ke kamar mandi. Bersih tidak ada bekas kelopak mawar lagi di sana, sedikit tenang rasanya. Akupun mandi dengan cepat, kemudian kembali ke kamar. Namun saat aku sampai di depan kamar, kutemukan satu kelopak mawar hitam tepat di depan pintu. Aku takut, segera aku masuk kamar dan menguncinya.

Kringgg… kring…  Ponselku berdering, lagi-lagi dari nomor yang sama. Aku tidak mengangkatnya, kutekan tombol untuk menolak panggilan. Mataku mengelilingi setiap ujung kamar, karena perasaanku saat itu sangat tidak enak. Sungguh aku merasa ada yang mengawasiku di kamar ini, entah siapa. Untuk menghilangkan rasa takut aku kembali membuka laptop, apalagi kalau tidak untuk berchatting. Belum juga ada obrolan yang masuk, ponselku berdering lagi tanda pesan masuk. Lagi-lagi dari nomor yang sama.

Malam ini malam pilihan, aku sudah menantinya.

Siapa sebenarnya pemilik nomor itu, dan apa tujuannya? Menyebalkan sekali! Aku kembali melihat layar laptopku, ada obrolan masuk dari black_roses.

Malam.. kamu lagi apa di kamar?

Aku sedang ketakutan nih..

Takut apa? Memangnya ada apa?

Iya dari tadi siang ada saja hal aneh yang menimpaku

Hal aneh?

Akupun menceritakan kejadian tadi siang mengenai kelopak mawar hitam yang berceceran di dapur kepada black_roses. Namun dia menganggap aku sedang bercanda.

Aku serius itu terjadi di dapur kosku

Sudahlah jangan membahas hal yang aneh-aneh, em…. eh aku ingin lihat wajah kamu nih

Hemm yaudah, ntar aku kirimin fotoku, tapi kamu kirimin fotomu dulu ya :p

Selang beberapa saat aku menerima foto dari black_roses ini. Entah dia salah kirim foto atau apa yang jelas aku tidak mengerti mengapa dia mengirimkan foto anak kecil, hitam putih dan terlihat lusuh, anehnya aku merasa tidak asing dengan foto itu.

Kog foto anak-anak sih?

Itu fotoku saat aku masih kecil J

Kami pun mengobrol panjang lebar hingga larut malam, hingga aku bisa melupakan kejadian-kejadian aneh yang aku alami seharian ini. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 00.00.

Aku offline dulu ya.. aku mau menemui seseorang yang jauh

Oh iya, siapa dia kalau boleh tahu?

Kamu :p

Ha? Aku???

Bercanda :D dia teman kecilku, dulu kita sering bermain bersama saat masih kecil, aku menyukainya dan ingin bertemu dengannya.

Kenapa malam sekali, tidak menunggu esok saja?

Tidak bisa, karena hanya malam ini aku diberi kesempatan untuk bertemu dengannya

Kemudian dia offline, belum sempat aku berpamitan. Mataku juga sudah lelah dan mulai mengantuk. Kututup laptopku dan bersiap untuk tidur. Belum sampai aku terpejam, ada sebuah ketukan pintu yang mengagetkanku. Siapa malam-malam begini mengetuk pintu? Tidak biasanya penghuni kosan yang lain datang ke kamarku saat tengah malam begini. Aku pun beranjak membukakan pintu. Tidak kutemui siapapun di sana, tapi kutemukan setangkai mawar hitam dan selembar foto di atas lantai. Kuambil keduanya, kupandangi foto itu dan betapa terkejutnya aku, foto itu adalah foto yang dikirim oleh black_roses tadi. Aku mulai merinding, segera kututup pintu kamar dan kembali ke kasur. Sekali lagi kupandangi foto itu, terasa tidak asing bagiku. Siapa sebenarnya yang ada di dalam foto ini? Aku berusaha mengingatnya. Srett… sebuah ingatan melintas dikepalaku. Seorang anak laki-laki berlari menghampiriku dengan membawa bunga mawar ketika aku memasuki mobil karena harus ikut kedua orangtuaku pindah ke luar kota. Iya.. aku mulai mengingatnya, dia teman kecilku Roni namanya. Dulu kita sering bermain bersama. Roni ingin mengatakan sesuatu kepadaku namun aku harus pergi. Yang kubingungkan sekarang adalah mengapa foto ini bisa berada di kamarku, juga bisa dimiliki oleh black_roses? Apa Roni itu black_roses? Sial… dari tadi aku chattingan dengannya tapi lupa menanyakan nama.

Kring…. Kring…. Ponselku berbunyi untuk yang kesekian kalinya dari nomor yang sama. Aku mengangkatnya.

“Hallo?”

“Hallo, apa kau bisa mendengar suaraku?”

“Maaf ini siapa?”

“Aku Roni”

Aku kaget mendengar nama itu, dari mana Roni tahu nomorku ini? Dan mengapa baru kali ini dia berbicara padahal dari tadi sudah menghubungiku. Aku mencoba tenang.

“Roni siapa? Ada apa?”

“Roni teman kecilmu sekaligus teman chattingmu, selebihnya bolehkah aku bertemu denganmu. Fitri…”

“Ha? Emm kapan?”

“Malam ini juga, karena hanya malam ini aku bisa bertemu denganmu”

Tiba-tiba telepon terputus, aku semakin bingung sekaligus takut. Aku merasakan ada seseorang duduk di belakangku, kucoba untuk melihat kebelakang, dan aku terperanjat. Sosok yang tidak kukenal berada tepat di hadapanku sekarang. Aku tak mampu berlari ataupun menjerit, hanya terpaku di hadapannya.

“Jangan takut Fitri, ini aku Roni. Aku datang untuk bertemu denganmu. Aku membawa setangkai bunga mawar kesukaanmu” dia menyerahkan setangkai mawar kepadaku, dan aku menerimanya begitu saja. “dulu aku tak sempat mengucapkan perasaanku kepadamu, karena kau harus pergi ke luar kota, dan ketika aku beranjak dewasa. Aku bertekad ingin menemuimu. Sebenarnya aku “ingin sekali menemuimu saat raga dan ruhku masih menyatu” kata-katanya terhenti.

“Apa.. apa maksud ucapanmu itu?” aku takut, bukan karena dia hantu. Aku takut penyebabnya adalah aku.

“Ketika aku lulus SMA, aku memutuskan untuk mengambil jurusan seni rupa sesuai cita-citaku. Akupun ingin melukis dirimu, namun aku tidak pernah bisa melakukannya kalau kita berjauhan. Maka dari itu aku memilih perguruan tinggi di kota yang sama denganmu. Sayangnya…” dia pun mulai menangis dan terisak “sayangnya aku harus mati saat sedang menuju ke kota ini. Sebuah mobil mendadak berhenti di depanku, aku.. aku …” dia kembali menangis.

“Cukup jangan diteruskan, aku paham. Maafkan aku Roni, maafkan aku, aku tidak tahu kalau kau mencintaiku” Akupun ikut terisak bersamanya, kini suasana menjadi haru, Roni memelukku erat, terasa dingin sekali, semakin lama semakin tak kurasa hingga ia menghilang meninggalkan setangkai mawar yang mulai menghitam.

Maaf jika aku terlambat mengetahuinya