Senin, 30 Januari 2017

Dorr !!



Oleh: Inayah Wulansafitri

“Asu! Taik! Dancuk!”

Aku mengumpat pada dinding ujung sekolah, tempat aku menyandarkan diri. Saksi bisu, mati pula. Setidaknya setia mendengar semua amarah, cukup amarah tak perlu ada keluh kesah, karena aku hanya akan merasa lega ketika amarahku terlampiaskan. Beberapa orang berkeseliweran di sekitarku. Berbisik-bisik mereka yang mendengarku. Tatapan hina diarahkan kepadaku, tajam namun yang kurasakan lebih dari sekadar tajam. Persetan dengan mereka, toh mereka tidak mengenalku. Mereka hanya bisa berbual, bergunjing dan berbicara di belakang. Hei.. aku ini punya mata, punya telinga, kau pun sama, ada mulut ada juga mata. Telinga? Tentu punya, kalau tidak mana mungkin bisa mendengar umpatanku, kemudian menatap ke arahku sambil berbisik-bisik dengan mulut bangkainya itu.

Aturan, ikatan, kewajiban, anjuran, ini dan itu masih berada di dalam diriku. Aku masih terbelenggu oleh semua itu. Anggap saja itu adalah pengontrol tindakan, karena bisa jadi tanpa adanya hal-hal itu aku menjadi psikopat. Siap membunuh sana-sini. Aku membalikkan tubuhku, menatap ke arah para persetan itu. Tajam melekat. Berkedip, menunduk lalu pergilah mereka. Dasar pengecut, batinku. Aku berjalan menuju kelas. Tujuanku hanyalah kelas di mana seharusnya ilmu bisa mudah kugapai. Bukankah ini hal yang baik? Setiap langkahku bisa mendapat pahala untuk mencapai surga. Orang mana yang tidak ingin masuk surga coba? Tetapi, di tepi-tepi tatapan hina terlempar bebas ke arahku. Bah.. mati saja mereka. Kalau tak suka seharusnya bilang di hadapanku, ingat DI HADAPANKU, bukan DI BELAKANGKU. Pengecut!.

Aku duduk di tempatku. Tempat terbusuk di dalam kelas. Berada di ujung kanan belakang berdekatan dengan sapu-sapu dan tong sampah serta alat kebersihan lainnya. Tak memiliki teman sebangku. Bukan masalah bagiku. Aku sudah terbiasa begini. Hidup di tengah kemunafikan, semuanya bermuka dua. Paras secantik dan setampan apapun itu, sama saja di mataku. Sama-sama seperti anjing, bahkan anjing saja tidak semunafik itu.

Pluk.. bola kertas mengenai kepalaku. Aku melihat ke arah yang melemparkannya kepadaku. Tertawa cengengesan merasa tak berdosa dan berani menatapku.

“Maaf, aku ingin membuang sampah di belakangmu, hehehe” terdengar seperti tawa kethek bagiku.

“Bangke, monyet bangke.” ucapku lirih menggeremati meja.

“Jangan kumur kalau ngomong, muntahin aja kali. Sok pendiam. Hahaha..” kali ini terdengar seperti tawa iblis.

Aku alihkan pandanganku, menatap ke luar jendela. Mencoba menahan semua marah yang sudah hampir muntah. Taik.. ingin sekali rasanya aku meludahi wajah busuknya itu. Kampret memang, lagi-lagi aku harus bersabar dan diam. Mereka sering kali memancing amarahku. Sampai detik ini pun mereka tetap berusaha bagaimana seorang pendiam sepertiku akan marah.

“Maafkan aku teman, aku sungguh-sungguh tak sengaja. Demi Allah.” Orang itu memegang bahuku, jijik sekali rasanya. Ingin kuhempaskan tangan itu!

“Tidak usah membawa nama Allah.” ucapku datar.

Ia keluar dari kelas, di luar kudengar ia berbicara pada anak lain.

“Sok sabar, sok pendiam dan sok alim. Babi menjengkelkan, aku muak melihatnya.”

Sial! Dia menggunjingkan aku lagi. Di mana sesungguhnya letak kesalahanku? Tidak menyerangnya, sabar dan berdiam, apakah itu salah?!. Aku juga ingin mengeluarkan amarahku ini langsung kepada mereka yang membuatku marah, namun aku tertahan. Aku hanya bisa marah pada dinding mati tak berdosa di ujung sekolah.

Kuambil tasku dengan kasar lalu ke luar meninggalkan kelas, sebenarnya aku tak ingin seperti ini, kehilangan pelajaran. Tetapi sungguh, aku tak bisa begini terus, aku ingin meledak.

“Bah.. mau ke mana? Ini belum saatnya pulang, tunggu sampai bel pulang berbunyi. Tidakkah kau takut mendapat A di raportmu nanti?” ucap si sialan tadi.

“Aku ingin pulang awal, hanya itu saja” balasku datar dengan tangan mengepal.

“Santailah saja, jangan begitu. Sobatku aku ini peduli padamu.” Dia memegangi bahuku yang mulai memanas.

Tidak kuat lagi aku menahan rasa marah ini, ku hempaskan tangannya kuat-kuat ke udara hingga ia mengaduh-aduh. Matanya melirikku takut, kemudian berubah menjadi tajam. Kepalan tangan darinya di arahkan ke kepalaku, namun aku mampu menghindar. Kutendang perutnya hingga ia terkulai di lantai, lalu aku pukuli kepalanya hingga berdarah-darah. Semua murid lainnya hanya bisa menyaksikan perkelahian ini. Aku mulai ragu untuk meneruskannya, namun si sialan ini meludah ke arahku meski tak mengenaiku. Tak tanggung-tanggung lagi, aku tuntaskan saja semuanya. Darah mulai terlihat di mulut dan hidungnya. Dari arah belakang sekelompok orang memukuliku. Kurasa mereka adalah geng si sialan ini. Beraninya keroyokan, nggak jantan sama sekali. Aku terhuyung dan terjatuh. Bagaimana tidak, mereka sangat banyak jumlahnya. Samar-samar kulihat guru datang, bukannya menolongku yang sedang terkapar ia justru masuk ke kelas seolah tidak terjadi apa-apa di luar kelas. Melewatinya begitu saja.

Kampret, guru macam apa itu! sialan, sungguh sialan semuanya persetan!

“Anak-anak, kalian harus tumbuh menjadi manusia yang memiliki keberanian, jangan mau dijadikan kalah-kalahan. Namun kalau bisa hiduplah dengan damai, maka akan merasakan bahagia di dalam hati kita.” samar-samar kudengar pembicaraan guru di dalam kelas.

“Omong kosong.” ucapku masih dalam keadaan tergeletak di lantai. Kulihat geng sialan itu memasuki kelas masing-masing. Kulepas sepatuku dan melemparkannya ke jendela kelas hingga prank! pecah. Guru dan murid-murid keluar kelas, memandangiku. Kuambil pistol di dalam tasku yang selama ini sudah kubawa namun tak pernah kugunakan. Mereka mundur ketakutan melihat pistolku, namun si sialan maju ke arahku. Seolah menentangku dan mengatakan pistolku adalah pistol mainan. Sebelum ia semakin mendekat ke arahku, ku tembakkan peluru ke arahnya. Dor.. dor.. dor.. ketiganya ambruk. Para murid lari berhamburan melihat temannya berlumuran darah. Awut-awutan kesana-kemari, pun dengan guru itu.

Aku tertawa puas sekaligus iba melihat pemandangan yang mengerikan ini. Tak kusangka tanganku akan menciptakan kegaduhan seperti ini. Betapa dosanya aku? Betapa gagalnya aku dalam menjalankan ujian dari-MU. Maafkan aku, aku tak mampu, ini terlalu berat. Aku menangis tersedu. Kuarahkan pistolku ke kepalaku sendiri dan Dor.. aku mengakhiri semuanya. Gelap lalu putih terang.

Namun ada kalanya aku berhenti.