Oleh:
Inayah Wulansafitri
“Asu!
Taik! Dancuk!”
Aku
mengumpat pada dinding ujung sekolah, tempat aku menyandarkan diri. Saksi bisu,
mati pula. Setidaknya setia mendengar semua amarah, cukup amarah tak perlu ada
keluh kesah, karena aku hanya akan merasa lega ketika amarahku terlampiaskan.
Beberapa orang berkeseliweran di sekitarku. Berbisik-bisik mereka yang
mendengarku. Tatapan hina diarahkan kepadaku, tajam namun yang kurasakan lebih
dari sekadar tajam. Persetan dengan mereka, toh mereka tidak mengenalku. Mereka
hanya bisa berbual, bergunjing dan berbicara di belakang. Hei.. aku ini punya
mata, punya telinga, kau pun sama, ada mulut ada juga mata. Telinga? Tentu
punya, kalau tidak mana mungkin bisa mendengar umpatanku, kemudian menatap ke
arahku sambil berbisik-bisik dengan mulut bangkainya itu.
Aturan,
ikatan, kewajiban, anjuran, ini dan itu masih berada di dalam diriku. Aku masih
terbelenggu oleh semua itu. Anggap saja itu adalah pengontrol tindakan, karena
bisa jadi tanpa adanya hal-hal itu aku menjadi psikopat. Siap membunuh
sana-sini. Aku membalikkan tubuhku, menatap ke arah para persetan itu. Tajam
melekat. Berkedip, menunduk lalu pergilah mereka. Dasar pengecut, batinku. Aku
berjalan menuju kelas. Tujuanku hanyalah kelas di mana seharusnya ilmu bisa
mudah kugapai. Bukankah ini hal yang baik? Setiap langkahku bisa mendapat
pahala untuk mencapai surga. Orang mana yang tidak ingin masuk surga coba?
Tetapi, di tepi-tepi tatapan hina terlempar bebas ke arahku. Bah.. mati saja
mereka. Kalau tak suka seharusnya bilang di hadapanku, ingat DI HADAPANKU,
bukan DI BELAKANGKU. Pengecut!.
Aku
duduk di tempatku. Tempat terbusuk di dalam kelas. Berada di ujung kanan
belakang berdekatan dengan sapu-sapu dan tong sampah serta alat kebersihan
lainnya. Tak memiliki teman sebangku. Bukan masalah bagiku. Aku sudah terbiasa
begini. Hidup di tengah kemunafikan, semuanya bermuka dua. Paras secantik dan
setampan apapun itu, sama saja di mataku. Sama-sama seperti anjing, bahkan
anjing saja tidak semunafik itu.
Pluk..
bola kertas mengenai kepalaku. Aku melihat ke arah yang melemparkannya
kepadaku. Tertawa cengengesan merasa tak berdosa dan berani menatapku.
“Maaf,
aku ingin membuang sampah di belakangmu, hehehe” terdengar seperti tawa kethek bagiku.
“Bangke,
monyet bangke.” ucapku lirih menggeremati meja.
“Jangan
kumur kalau ngomong, muntahin aja kali. Sok pendiam. Hahaha..” kali ini
terdengar seperti tawa iblis.
Aku
alihkan pandanganku, menatap ke luar jendela. Mencoba menahan semua marah yang
sudah hampir muntah. Taik.. ingin sekali rasanya aku meludahi wajah busuknya
itu. Kampret memang, lagi-lagi aku harus bersabar dan diam. Mereka sering kali
memancing amarahku. Sampai detik ini pun mereka tetap berusaha bagaimana
seorang pendiam sepertiku akan marah.
“Maafkan
aku teman, aku sungguh-sungguh tak sengaja. Demi Allah.” Orang itu memegang
bahuku, jijik sekali rasanya. Ingin kuhempaskan tangan itu!
“Tidak
usah membawa nama Allah.” ucapku datar.
Ia
keluar dari kelas, di luar kudengar ia berbicara pada anak lain.
“Sok
sabar, sok pendiam dan sok alim. Babi menjengkelkan, aku muak melihatnya.”
Sial!
Dia menggunjingkan aku lagi. Di mana sesungguhnya letak kesalahanku? Tidak
menyerangnya, sabar dan berdiam, apakah itu salah?!. Aku juga ingin
mengeluarkan amarahku ini langsung kepada mereka yang membuatku marah, namun
aku tertahan. Aku hanya bisa marah pada dinding mati tak berdosa di ujung
sekolah.
Kuambil
tasku dengan kasar lalu ke luar meninggalkan kelas, sebenarnya aku tak ingin
seperti ini, kehilangan pelajaran. Tetapi sungguh, aku tak bisa begini terus,
aku ingin meledak.
“Bah..
mau ke mana? Ini belum saatnya pulang, tunggu sampai bel pulang berbunyi.
Tidakkah kau takut mendapat A di raportmu nanti?” ucap si sialan tadi.
“Aku
ingin pulang awal, hanya itu saja” balasku datar dengan tangan mengepal.
“Santailah
saja, jangan begitu. Sobatku aku ini peduli padamu.” Dia memegangi bahuku yang
mulai memanas.
Tidak
kuat lagi aku menahan rasa marah ini, ku hempaskan tangannya kuat-kuat ke udara
hingga ia mengaduh-aduh. Matanya melirikku takut, kemudian berubah menjadi
tajam. Kepalan tangan darinya di arahkan ke kepalaku, namun aku mampu
menghindar. Kutendang perutnya hingga ia terkulai di lantai, lalu aku pukuli
kepalanya hingga berdarah-darah. Semua murid lainnya hanya bisa menyaksikan
perkelahian ini. Aku mulai ragu untuk meneruskannya, namun si sialan ini
meludah ke arahku meski tak mengenaiku. Tak tanggung-tanggung lagi, aku
tuntaskan saja semuanya. Darah mulai terlihat di mulut dan hidungnya. Dari arah
belakang sekelompok orang memukuliku. Kurasa mereka adalah geng si sialan ini.
Beraninya keroyokan, nggak jantan sama sekali. Aku terhuyung dan terjatuh.
Bagaimana tidak, mereka sangat banyak jumlahnya. Samar-samar kulihat guru
datang, bukannya menolongku yang sedang terkapar ia justru masuk ke kelas
seolah tidak terjadi apa-apa di luar kelas. Melewatinya begitu saja.
Kampret,
guru macam apa itu! sialan, sungguh sialan semuanya persetan!
“Anak-anak,
kalian harus tumbuh menjadi manusia yang memiliki keberanian, jangan mau
dijadikan kalah-kalahan. Namun kalau bisa hiduplah dengan damai, maka akan
merasakan bahagia di dalam hati kita.” samar-samar kudengar pembicaraan guru di
dalam kelas.
“Omong
kosong.” ucapku masih dalam keadaan tergeletak di lantai. Kulihat geng sialan
itu memasuki kelas masing-masing. Kulepas sepatuku dan melemparkannya ke
jendela kelas hingga prank! pecah.
Guru dan murid-murid keluar kelas, memandangiku. Kuambil pistol di dalam tasku
yang selama ini sudah kubawa namun tak pernah kugunakan. Mereka mundur
ketakutan melihat pistolku, namun si sialan maju ke arahku. Seolah menentangku
dan mengatakan pistolku adalah pistol mainan. Sebelum ia semakin mendekat ke
arahku, ku tembakkan peluru ke arahnya. Dor.. dor.. dor.. ketiganya ambruk.
Para murid lari berhamburan melihat temannya berlumuran darah. Awut-awutan
kesana-kemari, pun dengan guru itu.
Aku
tertawa puas sekaligus iba melihat pemandangan yang mengerikan ini. Tak
kusangka tanganku akan menciptakan kegaduhan seperti ini. Betapa dosanya aku?
Betapa gagalnya aku dalam menjalankan ujian dari-MU. Maafkan aku, aku tak
mampu, ini terlalu berat. Aku menangis tersedu. Kuarahkan pistolku ke kepalaku
sendiri dan Dor.. aku mengakhiri semuanya. Gelap lalu putih terang.
Namun ada kalanya aku berhenti. |