Rabu, 22 Januari 2020

Jiwa Sampah



“Deg” jantungku berdebar keras, keringat dingin mulai keluar dari lubang pori-pori tubuhku, tangan dan kaki terasa sangat dingin. Aku melangkah dengan penuh keraguan, panitia telah menyodorkan sebuah microphone kearahku. Dengan gugup kuraih benda itu dan menggenggamnya erat-erat di depan dadaku. Aku terpaku sejenak memikirkan kata-kata yang akan terucap lewat mulutku ini. Kemudian kuperkenalkan diriku dihadapan banyak orang yang belum kukenal sama sekali.

“per.. perkenalkan.. nama.. nama saya Feri Pradipsa, saya berasal dar.. dari Kudus, Ter.terimakasih”.

Dengan grogi kuserahkan microphone itu kepada panitia tadi, dan segera aku kembali ke tempat dudukku. Semua mata tertuju kearahku, pandangan aneh dari banyak pasang mata sedang diarahkan kepadaku. Kuhanya bisa menunduk memandangi lantai keramik yang berbentuk persegi-persegi itu. Membiarkan perasaan gelisah didalam diriku menghilang dan kembali tenang. Setelah merasa cukup tenang aku mulai mengangkat kepalaku dan menghadap ke depan, memperhatikan para peserta yang maju untuk memperkenalkan dirinya masing-masing di depan tanpa ada ekspresi gugup. Betapa beruntungnya mereka yang lihai dalam berkata-kata dihadapan banyak orang, tidak seperti siput malang ini yang tersentuh sedikit langsung bersembunyi di dalam  rumahnya. Aku berceloteh sendiri di dalam hati. Akhirnya sesi perkenalanpun usai, kini masuk ketahap materi. Seorang yang cukup terkenal, berwawasan, dan berilmu masuk ke dalam ruangan dan segera mengambil posisi di depan panggung. Dia memperkenalkan dirinya dengan begitu bersemangat, sontak tepuk tangan yang meriah diberikan kepadanya. Aku hanya diam melongo memandangi sosok itu, karena aku tidak begitu tahu tentang orang itu. Mungkin dia adalah penulis terkenal dan hebat sehingga dapat mengisi kegiatan lomba menulis seperti ini. Aku memang suka menulis, tapi aku tidak tahu satu penulispun yang berasal dari Indonesia. Begitu terpuruknya diriku ini bukan?. Orang tadi memberi pencerahan kepada semua peserta, memberi semangat menulis dan tips-tips menulis yang baik. Menarik juga orang ini, mampu menggebu-gebukan semangat para peserta, batinku. Namanya adalah Reihan Brahmesta, orangnya tinggi putih dan berlesung pipi. Mungkin kalau aku seorang perempuan aku akan jatuh hati kepadanya, untungnya aku terlahir sebagai pria sejati. Sesudah memberikan materi dan motivasi, orang itu meninggalkan panggung dan keluar dari ruangan.

Selanjutnya memasuki sesi perlombaan menulis. Panitia memberikan sehelai kertas kepada peserta dan perlombaanpun dimulai. Aku yang sudah siap dari tadi langsung menyaut pena dan mengadunya dengan kertas putih yang ada di atas mejaku. Aku menulis sebuah artikel yang berjudul “Introvert It’s me”. Karena sudah lama aku ingin menulis tentang diriku yang dianggap introvert oleh teman-teman. Padahal di dalam hatiku aku sangatlah ekstrovert. Artikelku ini berisi mengenai anggapan bahwa aku introvert dan aku ada, meski keberadaanku sering tidak dianggap bahkan teman-teman dekatku sendiri. Waktu yang diberikan panitia masih beberapa menit lagi, aku mengecek tulisanku kalau ada yang salah. Setelah beberapa saat aku maju dan mengumpulkan hasil tulisanku. Kuucap hamdalallah di dalam hati dan menyerahkan kembali kepada yang di Atas.

Lima hari lagi pengumuman, dan aku sudah tidak sabar ingin mengetahui hasilnya. Kalah memang hal yang lumrah, tapi dapat kesempatan untuk memenangkan lomba menulis artikel adalah hal yang membanggakan bagiku. Selama lima hari itu, aku menyibukkan diri untuk mendatangi perpustakaan daerah yang berada di belakang gor hanya sekedar membaca buku-buku karangan kahlil Gibran. Aku memang suka karangan-karangannya apalagi bahasa yang digunakan, lebih dari kias. Aku perlu memaknai sendiri setiap kalimat yang tertulis di dalamnya. Pesan yang disampaikan Kahlil juga sangat banyak dan membuat pembaca terpukau. Kisah-kisahnya seolah diambil dari pengalaman pahit dalam hidupnya.

Tak terasa tibalah waktunya pengumuman. Hatiku seolah tidak tenang, rasa takut bercampur aduk. Makan, tidur dan segala aktivitas yang aku lakukan terasa sangat tidak menggairahkan. Mungkin terlalu berlebihan tapi sungguh ini terjadi kepadaku. Jam 10.00 aku membuka e-mail di warnet terdekat. Belum ada email masuk dari panitia perlombaan, tapi beberapa menit kemudian kulihat ada email yang masuk. Segera ku klik dan kubaca. “ANDA TIDAK KALAH NAMUN BELUM MENANG”. Kalimat yang pertama yang kubaca membuatku bingung dan tidak mengerti, apa maksudnya tidak kalah namun belum menang?. Kulanjutkan membaca, di bawahnya tertuliskan “tulisan anda bagus tapi cara anda berbicara di depan umum mengurangi penilaian terhadap tulisan anda. Karena menulis saja tidaklah cukup untuk memenangkan perlombaan ini”. Tidak kuteruskan kalimat itu sampai akhir segera aku log out dan keluar dari warnet itu.

(“perlombaan macam apa ini, lomba menulis apa lomba berbicara. Kalau berbicara di depan panggung mempengaruhi kalah menang suatu lomba! Sialan si penyelenggara loma!!”)

Aku ngedumal di dalam hati, sambil menyusuri jalan pulang. Aku berjalan melewati sungai gelis yang kini tidak bisa dianggap sungai lagi karena sampah yang memeriahkan airnya. Kuambil kertas dan pena di dalam task u, kemudian ku tuliskan sebuah kalimat “Introvert not ekstrovert, that’s me!”. Ku remas-remas kertas itu sambil mengingat kekalahanku atas lomba menulis, dan melemparkannya jauh ke arah tumpukan sampah. Saat itu aku benar-benar merasa kalah dan patah semangat, biarkanlah jiwaku menyatu dengan gundukan sampah. Hingga suatu saat nanti aku akan dibakar atau hanyut ke sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar