Rabu, 22 Januari 2020

Habib Kekasihku

Kisah ini terinspirasi dari cerita cinta teman dekat. Monggo disimak.


“Haruskah Jakarta? Haruskah sejauh itu?” mataku mulai berkaca-kaca, ingin sekali rasanya aku menangis, namun aku harus tegar.

“Aida, percayalah aku di sana bekerja. Kamu harus percaya dan mendo’akan aku selagi kita berjauhan nanti. Aku butuh dukunganmu” Putra menggenggam tanganku.

Teringat semua hal-hal indah yang sudah aku lakukan bersama Putra selama 8 bulan. Jalan bareng, makan bareng, nonton bareng semua kami lakukan berdua. Entah mengapa rasanya begitu cepat saat Putra menyatakan akan bekerja di Jakarta. Awalnya kami kenal lewat facebook, lalu bertemu dan menjadi sahabat. Ia menaruh perhatian padaku, lebih dari seorang sahabat. Semakin berjalannya waktu aku mulai mencintainya, bukan hanya sekedar sahabat.  Andai Putra menyatakan cintanya padaku, aku akan langsung menerimanya. Dia begitu berarti bagiku, dia yang memberi warna pada hari-hariku yang sepi. Bahkan ibuku menyukainya. Aku masih menunggu, menunggu ia menyatakan cinta padaku suatu saat nanti, entah kapan itu.

Kini sosok Putra tak bisa lagi menemani hariku, meski begitu hubungan kami masih baik. Kami sering berkirim kabar. Layaknya dua insan yang menjalin hubungan jarak jauh. Memang ini adalah hubungan, tetapi tidak memiliki status khusus. Tetapi semakin lama ada yang berbeda, perhatiannya berkurang terhadapku. Akupun mulai curiga. Apa dia sudah memiliki pacar di sana? Apa dia akan meninggalkan aku ? pikiran-pikiran ini menghantuiku.

Aida, minggu ini aku akan kembali ke Boyolali, maukah kamu menemaniku jalan-jalan. Aku baru saja membeli motor. Putra mengirimiku pesan singkat.

Tentu saja, dengan senang hati <3. Balasku

Senang sekali rasanya mendengar kabar bahwa dia akan pulang ke Boyolali. Aku tidak sabar ingin bertemu dan bercengkerama dengannya. Tetapi aku juga ingin tahu alasan mengapa ia berbeda, aku ingin mendengar penjelasan darinya.

Tepat pada hari Minggu aku dijemput Putra, ia mengajakku jalan-jalan menggunakan motor barunya. Rasanya sangat bahagia bisa jalan berdua dengannya lagi, aku sudah menyimpan rindu terlalu lama kepadanya. Hari sudah sore dan iapun mengantarkanku pulang ke rumah. Sebenarnya aku masih mau berduaan dengannya, tapi besok dia harus kembali ke Jakarta lagi. Ah.. andai aku bisa menghentikan waktu, maka akan kuhentikan saat kami berdua saja.

“Selamat istirahat, terima kasih sudah menemani hariku”

“Iya, emm Putra, bolehkah aku meminjam Hpmu?”

“Untuk apa?”

“Pinjam sebentar saja, pliss” pintaku padanya.

Diapun mengeluarkan hpnya dan memberikannya kepadaku. Aku segera membuka semua kontak yang ada di hpnya. Aku terkejut tidak percaya, kontaknya penuh dengan nama perempuan. Kotak masuk juga dipenuhi pesan dari perempuan. Begitu juga foto-fotonya, banyak sekali foto perempuan di galerinya. Aku tidak bisa menahan kesedihanku, air mataku keluar. Aku menangis di hadapan Putra yang selama ini kupercaya hanya akan memilihku seorang. Hanya akan menjagaku seorang.

“Kamu kenapa menangis da?” Tanya Putra kepadaku.

“Coba jelaskan semua yang ada di hpmu ini” aku mengembalikan hpnya.

Dia diam seribu bahasa, seperti mau menjelaskan sesuatu namun tidak bisa. Suasana semakin kaku. Akupun tak bisa berbuat apa-apa, hanya menangis sesenggukan di hadapannya. Dia mencoba menghapus air mataku, kubiarkan saja meski hatiku masih berkecamuk. Akupun memutuskan untuk menghubungi bibiku yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumahku. Kupinta Bibiku untuk menengahi semua permasalahan ini.

“Apa-apaan ini, kenapa harus memanggil bibimu segala?!” Putra membentakku.

“Biarkan dia yang menengahi, aku nggak sanggup”

“Ini urusan kita berdua, kita berdua yang akan menyelesaikan. Aku nggak suka kamu kayak gini. Lebih baik aku pergi saja!” Putra membentakku.

“Tidak, jangan pergi kumohon. Tetaplah di sini. Temani aku, aku masih ingin berada di dekatmu” aku menangis dan menahan Putra pergi. Kupegangi tangannya agar dia tidak pergi. Aku melihat bibiku datang, segera aku lepaskan tangan Putra, iapun pergi dengan motornya. Terakhir kalinya aku melihat dia, besok dia sudah berada di Jakarta. Aku memeluk erat bibiku, ia mencoba menghiburku.

Sulit menjalani hidup tanpa sosok Putra, tapi aku harus bangkit dari keterpurukan ini. Aida harus tegar, tidak boleh cengeng. Meski sulit aku tetap harus hidup. Hari-hari kujalani dengan perasaan yang masih kecewa, tidak mudah untuk menghapus semuanya, itu semua butuh proses dan aku sedang berproses untuk bangkit.

PING!!!

Seseorang mulai dekat denganku, Habib namanya. Bermula dari ia yang ngeping aku di bbm. Semenjak itu kami menjadi dekat. Dan ternyata Habib ini adalah adik kelasku sendiri. Dia lucu, tingkahnya kocak dan selalu membuatku tertawa. Dia mampu membuatku lupa dengan masalah Putra, setidaknya sebagai teman. Kami berteman dekat, aku tidak terlalu berharap apa-apa padanya, apa lagi soal cinta. Cukup Putra yang hanya bisa membuatku berharap dan kecewa, aku tidak mau lagi digantung.

Biarkan semua mengalir apa adanya. Aku dan Habib mulai saling memanggil sayang, aku tahu ini hanya guyon, aku menanggapinya juga dengan guyon tidak serius. Lama-kelamaan aku mulai tidak enak dipanggil dengan sebutan sayang. Kami tidak memiliki hubungan spesial apa-apa kenapa harus memanggil sayang seolah kami ini pacaran. Kalau Habib memang menyukaiku dia harus mengutarakannya, jangan menjadi seperti Putra yang hanya bisa menggantung perasaan orang lain. Toh akupun mau membuka hati untuk Habib, dia juga yang membuatku bangkit dari keterpurukan. Aku juga merasa nyaman dengannya.

Sayang lagi apa ? tanyanya di bbm

Jangan panggil aku sayang lagi bib. Ingat kita ini bukan pasangan kekasih.

Tapi biasanya juga nggak masalah kan?

Iya tapi kali ini aku merasa kalau harga diriku murah sekali. Dengan kamu memanggil seperti itu kepadaku sedangkah kita tidak sedang pacaran.

Baiklah kalau begitu, mulai saat  ini mau nggak kamu jadi kekasihku?

Kalimat yang tak pernah kuduga sebelumnya, Habib mengutarakan cintanya kepadaku. Aku senang sekali, tidak bisa kupungkiri kalau aku juga menyimpan rasa kepadanya. Walaupun dari segi ketampanan, 100 % aku akan menjawab tampan Putra dibanding Habib. Tapi bukankah cinta tidak diukur dengan rupa? Bukankah cinta itu tumbuh dari hati dan terus mengakar hingga kelak tak akan bisa dicabut lagi? Aku akan menerima Habib sepenuh hati, aku tulus karena kenyamanan yang telah ia berikan kepadaku. Kesetiaan, perhatian, dan cintanya sudah cukup menjadi modal awal dalam menerimanya. Untuk selanjutnya aku akan melihat sejauh mana dia bersungguh-sungguh dalam mencintaiku. Jodoh sudah ada yang menentukan, aku tidak perlu khawatir tentang itu.

Aku membuka lembaran baru, tentunya dengan Habib kami memiliki hubungan spesial sekaligus memiliki status. Ia kekasihku sekarang. Habib kekasihku dan seterusnya dia akan menjadi kekasih setiaku. Kami menjalani segala suka dan duka bersama-sama, karena sesungguhnya cinta itu tentang kebersamaan. Walau kadang ia agak kekanak-kanakkan, begitu juga denganku. Tapi kami saling mengerti dan memaafkan. Aku menyadari bahwa aku selama ini terlalu kasar kepada Habib, memukul, mencubit, menjambak kerap kali aku lakukan kepadanya. meski begitu ia tetap sayang kepadaku.

Sabtu sore, aku mandi dan berdandan secantik mungkin, karena biasanya Habib datang ke rumah. Aku ingin tampil cantik di hadapan Habib. Sudah hampir pukul 07.00 dan Habib belum juga datang.

Sayang lagi apa? Tanyaku padanya lewat bbm.

Lagi nonton tv nih yang

Inget nggak ada apa hari in?

Memangnya ada apa?

Biasanya kalau malam minggu ngapain?

Kalau malem minggu biasanya aku ngapel di rumah calon pengantinku hehehe :*

Terus sekarang?

Maaf sayang, aku sekarang tidak bisa ke rumahmu.

Kenapa?

Uangku habis

Apa kamu pikir selama ini yang kuinginkan darimu adalah uang? Aku tidak butuh uangmu itu! yang kubutuhkan hanyalah kehadiranmu!

Iya sayang aku tahu, tapi aku tidak enak datang ke rumah pacar tapi nggak bawa uang

Sayang??

Sayang maaf dehhh..

Yaudah aku kesana sekarang, jangan kemana-mana

Aku sangat marah sekali, tidak kubalas meski ia terus terusan mengirimiku pesan bbm. Aku sudah terlanjur badmood. Aku pergi ke rumah bibiku untuk menghindari Habib. Aku tidak mau lagi melihat wajahnya itu, apa karena uang aku menerima cintanya. Kenapa ia memiliki pikiran seperti itu, tidakkah ia sadar aku tulus mencintainya, bukan karena harta. Semua ini karena hati, ia mampu membuat hatiku tak merasa gundah itupun sudah cukup.

Habib sampai di rumahku, namun ia tak dapat bertemu denganku. Ia meneleponku dan menyuruhku agar cepat pulang ke rumah. Ia juga bilang kalau ia membawakanku nasi goreng.

“cepat pulang ke rumah, aku sudah di depan rumahmu” ucapnya lewat telepon.

“nggak!”

“kamu ingin aku pulang setelah aku sampai ke sini?”

Aku mematikan telepon dan langsung berlai ke rumah dan menemuinya. Jujur saja aku tidak mau kehilangan sosok Habib. Dia sangat berarti, sekalipun aku berkata muak kepadanya namun hatiku terus mengikat cintanya.

“Maafkan aku sayang, aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah. Hanya saja aku merasa bahwa tidak pantas seorang cowok datang ke rumah pacarnya tanpa membawakan apa-apa”

“Pikiranmu terlalu sempit, yang kubutuhkan bukanlah nasi goreng sekalipun aku lapar sekali saat ini. Yang kuharapkan adalah kehadiranmu!” aku memukuli tubuhnya.

“Baiklah sekarang aku sudah datang, jangan marah lagi ya”

“Nggak, cukup aku mau kita putus!”

Habib agak terkejut mendengar ucapanku, iapun memegang tanganku dan berlutut di hadapanku kemudian memohon

“Kamu yakin? Ucapanmu itu apakah kamu yakin? Tidak bisakah kau memaafkanku hanya gara-gara hal sepele seperti ini?”

“Tidak, kamu terlanjur membuatku marah”

Habib berdiri dan menatapku lekat-lekat.

“Aku Tanya sekali lagi, apa kamu siap mengakhiri hubungan ini? Jujur dari dalam hati apa kamu sudah tidak mencintaiku? Apa putus jalan yang kau pilih?”

Aku tidak mau berpisah dengan Habib, aku tahu aku sangat marah sekali, tapi kehilangan Habib lantas apa jadinya aku kelak?

“Tentu saja aku tidak mau kehilanganmu” aku menunduk malu.

Habib memelukku erat “Aku juga tidak mau kehilangan dirimu, siapa pemilikku seandainya kamu membuangku kelak? Aku akan hidup tanpa seorang pemilik. Dan siapa yang akan menjadi pemilik bidadari cantik ini ? aku tidak akan rela jika ada pemilik dirimu selain aku”.

Tetaplah menjadi Habibku, selama aku masih punya nafas untuk dihembuskan, selama kau masih memiliki jantung untuk berdetak maka tidak akan ada kata pisah diantara kita.

Aku Mencintai Habib Kekasihku.





Thanks to My First Love



“Assalamualaikum?” aku mencoba mengeraskan suaraku.


Berkali-kali aku mengucapkan salam, namun tidak ada satupun orang yang keluar dari rumah itu. Aku tidak mungkin masuk begitu saja, meskipun pintunya terbuka. Kuputuskan untuk pulang, karena senja sudah melambai-lambai. Akupun melangkah pergi meninggalkan rumah itu, namun ada suara yang menghentikan langkahku.


“tunggu..”


Aku menoleh dan melihat seseorang gadis muda keluar dari rumah itu, mungkin dua sampai tiga tahunan di bawahku.


“tunggu sebentar mbak, apa mbak tadi yang mengucap salam?”


“oh.. iya benar saya yang mengucap salam, namun lama tidak ada yang menjawab”


“maaf, waalaikumsalam.. mari masuk dulu mbak”


Tidak bisa kutolak tawaran ini, akupun mengikutinya dan duduk di sebuah sofa.


“sebelumnya saya minta maaf karena mungkin mbak sudah lama menunggu, saya tadi sedang salat di dalam kamar dan kebetulan orang tua saya tidak ada di rumah, kakak saya juga sedang ada rapat di organisasinya”. Gadis itu menjelaskan apa yang sedari tadi aku ingin tahu.


“oh begitu ya dik, mungkin mbak yang salah pilih waktunya”


“tidak apa-apa mbak, kalau boleh tahu mbak ini siapa dan ada keperluan apa ya?”


“bukan siapa-siapa dik, saya datang kesini hanya ingin mengembalikan ini kepada pemiliknya”. Aku menyodorkan sebuah e-KTP yang kutemukan di jalan pagi hari tadi.


Gadis itu mengambil e-KTP yang kusodorkan, kemudian membacanya.


“lho inikan milik ibu saya mbak?, kog bisa ada di mbak sih?”


“oh.. anu.. tadi pagi sa..” kata-kataku terputus karena ada seseorang yang masuk ke rumah itu dengan tiba-tiba.


“Assalamualaikum”


“waalaikumsalam..”. aku berhenti berbicara ketika melihat ke arah laki-laki itu.


Kaget setengah mati rasanya, dan kurasa diapun sama. Dia adalah teman satu SMPku dulu, Rifa namanya, walaupun kami tidak pernah diberi kesempatan untuk bisa menjadi teman satu kelas tetapi aku memiliki rasa tertentu kepadanya. Aku jatuh cinta kepadanya saat kelas sembilan, akupun tahu dirinya dari teman sebangkuku yang juga menyukainya dan setiap hari bercerita tentangnya. Tiga tahun sudah aku memendam rasa itu, tidak ada satupun orang yang tahu.


“oh.. ada tamu, silahkan dilanjut”. Rifa lantas masuk ke dalam, entah dia memang tidak tahu, lupa dengan diriku atau pura-pura tidak ingat kepadaku. Padahal dulu kami sempat berada di satu ruangan saat ujian berlangsung. Pikiranku berputar-putar melihat sikap dingin Rifa itu, dan tidak sadar si gadis muda tadi memperhatikanku.


“mbak?”. Panggilnya menyadarkanku.


“oh.. iya maaf dik, sampai mana tadi?”


“apa mbak kenal dengan abang saya?”


“abang??, tadi abang kamu?”


“iya, bang Rifa namanya”


“oh.. nggak kog dik, adik sendiri siapa namanya?”


“saya Ifa mbak”


“oh dik Ifa, iya tadi saya menemukan e-KTP itu di jalan ketika saya pulang dari rumah teman”


“oh.. mbak baik sekali, terimakasih banyak ya mbak”


“iya dik, sama-sama, mbak pulang dulu ya”


“mbak nggak mau dibuatin minum dulu?”


“nggak usah, keburu maghrib ntar”


“iya udah mbak, sekali lagi terimakasih”


“assalamualaikum”


“waalaikumsalam”.


Aku beranjak keluar, tiba-tiba Rifa keluar dari dalam dan menghentikanku. Dia menawarkan untuk mengantarku pulang. Namun aku menolaknya, aku tidak ingin rasa cinta yang kupendam selama ini semakin menjadi-jadi. Dia tetap memaksaku, lantas pergi mengambil kunci motornya. Tidak bisa berbuat apa-apa, akupun mau saja diantarnya.


Hening, sangat hening, sepanjang jalan tak ada percakapan di antara kami. Akupun hanya bisa memandang punggungnya, dan berpegangan pada besi di belakang motor.


“Naya..”. Rifa menyebut namaku. Akupun hampir tidak percaya, sesosok Rifa memanggil namaku, oh Tuhan.. rasanya aku seperti melayang di udara, berputar-putar dan menari bersama pelangi meski kala itu tak ada pelangi yang nampak.


“Naya..”. Ulangnya lagi agak keras, dan membuyarkan khayalanku.


“ehh,, iya? Kamu tahu namaku?”


“maukah kamu berbicara sebentar denganku?”


Deg.. kalimat itu membuatku semakin berdebar, hatiku tak karuan. Apa yang mau dia bicarakan padaku? Padahal selama tiga tahun ini kami tidak pernah berbicara satu sama lain. Aku terdiam tak mampu berkata apa-apa untuk menjawab ajakannya itu. Ia menghentikan motornya ke taman kecil pinggir jalan raya. Kemudian mengajakku duduk di sebuah kursi panjang yang ada di situ.


“jujur saja Nay, apa kamu menyukaiku?”


Dyarrr.. pertanyaan macam apakah ini Ya Allah, aku bingung, gugup dan mungkin saja salah tingkah. Aku salah tingkah di depan orang yang selama ini kusuka, oh Tuhan.


“eh? Apa maksud pertanyaanmu itu?” aku mencoba setenang mungkin dengan kalimatku ini.


“maksudku adalah, apakah selama ini kamu memiliki rasa tertentu kepadaku? Seperti rasa cinta misalnya?”


“mengapa kamu bertanya seperti itu?”


“aku hanya ingin memastikan saja, hatiku mengatakan seperti itu dari kita masih satu SMP dulu. Namun aku tidak tahu kebenarannya seperti apa”


“hatimu mengatakan ?” aku mulai bingung dengan sikapnya dan juga mulai takut dengan perasaanku ini.


“aku dulu sering lihat kamu menghindar ketika lewat di depanku, dan melihatmu seolah salah tingkah ketika mata kita saling beradu”


Mendengar penjelasannya, maluku tak tahu lagi akan berujung kemana. Jadi, selama ini dia memperhatikan tingkahku ketika berpapasan dengannya. Akupun terdiam tak mampu menjawab apa-apa. Diam seribu bahasa karena yang dibicarakan itu memang benar.


“nay?”


Dia mencoba memanggil namaku, namun aku tetap saja diam. Aku tidak tahu mau mengatakan apa.


“kalau kamu diam, itu tandanya benar kamu ada rasa kepadaku?”


“kenapa kamu menanyakan hal itu sekarang, apa kamu peduli jika rasa itu memang ada?”


“aku peduli, sangat peduli dengan rasa itu”


“jadi?”


Rifa menunduk dan terdiam. Aku semakin bingung, ada apa ini ? apa yang ada di pikirannya sekarang. Akupun ikut terdiam, menunggu apa yang akan dikatakan olehnya. Kupandangi wajahnya yang terus menunduk, hingga akhirnya ia mau mengangkat wajahnya itu.


“hhh (menghela naafas), jadi aku tidak tahu apa yang mau aku bicarakan”


“apa maksudmu tidak tahu?, baiklah kalau begitu aku pamit dulu. Sudah hampir petang!” aku mulai kesal dengan dirinya.


“tunggu, aku belum selesai bicara”


“tadi kamu bilang kamu nggak tahu mau bilang apa kan? Lalu apa lagi yang mau kamu katakan?”


“aku mau memohon padamu”


“memohon untuk apa?”


“buang rasa itu”


“a.. apa maksudmu?” aku kaget sekali mendengar ucapannya itu.


“aku memintamu supaya kamu tidak lagi ada rasa kepadaku”


“ke.. kenapa begitu? Apa kamu membenciku? Apa rasa ini mengganggumu?, apa aku pernah mengusik hidupmu dengan rasaku ini?”


“bukan, bukan begitu. Aku sama sekali tidak keberatan jika kamu menyukaiku. Hanya saja..”


“hanya saja kenapa?”


“hanya saja aku tidak ingin kamu nantinya akan kecewa”


“heh, aku hanya suka padamu, aku tidak sedang menjalin hubungan denganmu kan? Kenapa aku harus kecewa”


“lantas sampai kapan kamu akan menyimpan rasa itu terus-terusan, bagaimana jika aku tidak bisa membalasnya”


“aku akan menyimpannya sampai ada rasa yang baru muncul menggantikan sosok dirimu dalam hatiku. Sayangnya sampai saat ini belum ada yang bisa menggantikan rasa itu”


“jangan begitu, belajarlah untuk tidak menyukaiku lagi”


Dia mengucapkan kalimat terkejam yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kemudian pergi meninggalkanku begitu saja. Aku menangis, air mataku ini tak bisa lagi kubendung.


Ini kali pertamanya kita duduk bersama berdekatan dan mengobrol, namun obrolan ini justru menjadi badai yang menghantam hatiku. Sakit sekali rasanya, aku tidak butuh dan tidak menginginkan dia mau membalas cintaku, sungguh aku tidak keberatan kalau dia mengabaikan rasa ini. Asal aku bisa menjaga rasa ini sendirian, aku sudah senang. Asal tidak ada yang tahu tentang rasa ini kecuali aku, aku cukup tenang. Namun kini dia tahu, dan dia memintaku untuk menghapus rasa itu. Mengapa harus kuhapus? Mengapa dia meminta hal yang sesulit itu untuk kulakukan sedangkah hal itu tidak akan menyakiti siapapun. Karena sejatinya akulah yang pada akhirnya akan merasa tersakiti, tapi aku tidak peduli dengan itu. Biarlah rasa sakit bersemayam bersamaku asal rasaku tetap terjaga. Aku beranjak pergi dari tempat itu, berjalan menuju rumah yang tidak begitu jauh jaraknya. Aku berjalan lemas dengan mata sembab hingga tiba di rumah dan langsung mengunci diri di kamar.


Ku buka mata, masih ada rasa lelah di sana rupanya. Mungkin gara-gara banyak mengeluarkan air mata semalaman. Tapi untuk apa aku menangis? Dan baru sekali ini rasanya aku menangisi seorang laki-laki. Ahh sudahlah, itu semua sudah terjadi tak perlu lagi dipusingkan. Kusambar jaket yang tergantung di belakang pintu, segera kukenakan. Aku pergi meninggalkan rumah, butuh penyegaran dari udara yang masih sejuk. Hari masih sangat pagi, enak dibuat berolahraga. Aku selalu menyempatkan diri untuk berolahraga di Minggu pagi, karena memang hanya hari itu aku luang.


“uhh lelah sekali..” kuputuskan untuk duduk di bawah pohon yang cukup besar. Di situ aku bisa mengamati orang-orang yang masih berolahraga. Tapi… aku melihat Rifa, jauh di seberang. Dia bersama teman-temannya, mungkin teman satu angkatan di sekolahnya. Kuperhatikan dia, dari jauh tentunya. Nampak murung, berjalan di belakang teman-temannya. Ada apa? Kenapa dia kelihatan sedih? Apa dia sakit? Atau demam? Ahh.. kenapa juga aku memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu. Seorang gadis datang menghampiri mereka. Aku tidak tahu gadis seperti apa dia, aku hanya bisa melihat gadis itu kecil, pendek, berambut panjang dan agaknya centil. Ekspresi Rifapun berubah seketika melihat gadis itu. Dia tersenyum, manis sekali. Tapi terlihat menjijikkan karena ia tersenyum kepada gadis itu bukan aku. Siapa sebenarnya  gadis tengil itu? kenapa mereka begitu akrab?. Tidak tahan sekali rasanya, akupun beranjak pergi dari situ.


“Naya?”.


Aku terkejut ada yang memanggilku,suaranya tepat di belakangku, akupun menoleh.


“emm, siapa ya?”


“kamu Naya bukan?”


“iya, tapi kamu siapa?”


“aku Yoga, kamu nggak ingat dengan aku?”


Aku mencoba untuk mengenali orang ini, tapi sungguh siapa dia? Kenapa aku tidak ingat.


“kita kenal di mana kalau boleh tahu?. Maaf saya agak lupa.”


“oh lupa ya ternyata, tidak apa. Kita dulu satu kelas. Tujuh e”


“oh Yoga, em apa kabar?”


Aku berusaha untuk pura-pura mengingatnya, walau sebenarnya aku lupa. Mungkin ingat, tapi hanya sedikit. Sebatas ingat nama, tapi wajah sungguh asing bagiku.


“baik, sepertinya kamu tidak berubah ya. Masih seperti dulu. Pendiam dan penyendiri, bahkan aku tidak yakin kamu ingat betul denganku”


“sekali lagi maaf, kalau begitu aku pamit dulu”


“emm hati-hati”


Kumelangkah pergi meninggalkan si Yoga itu, apa dia bilang? Pendiam? Penyendiri? Apa tidak ada yang mengerti diriku di dunia ini. Kelas tujuh? Tujuh e, cihh memilukan sekali keberadaanku di sana.


Dulu saat masuk pertama kali di SMP, aku sangat takut, karena memang hanya aku yang masuk di SMP itu. Temanku satu SD tidak ada yang satu SMP denganku, wajar saja aku takut. Akupun selalu diam saja di kelas, tidak ada yang aku kenal. Ahh biar saja nanti lama-lama juga aku akan mendapat teman banyak. Tapi apa?? Tak ada satupun teman dekat, interaksipun jarang sekali mereka lakukan kepadaku. Seolah aku tidak ada, mereka tidak mengakui keberadaanku. Akupun tambah menjadi anak pendiam , selalu menyendiri dan pemurung tentunya. Aku kira tidak akan ada yang mengingatku setelah aku terbebas dari kelas tujuh itu. Tapi kenapa si Yoga mengingatku? Haha.. lucu sekali aku ini. Akukan penyendiri dan pendiam, mungkin itu sangat mencolok sekali sehingga ada yang mengingatnya. Tapi lupakan tentang itu, sungguh kelam sekali masa itu. Tidak bisa kutemukan kenangan di sana.


***


Hari kelulusan SMA, akhirnya lulus juga aku ini. Terbebas dari orang-orang munafik yang aku benci. Orang yang mengaku teman namun justru ialah lawan. Benar sekali, begitulah hidup, panggungnya sandiwara. Tidak ada hal yang lebih menggembirakan dari kelulusan, karena kelulusan sama dengan terlepas dari keterkaitan satu sama lain yang engkau enggani untuk tetap bertahan, rumit. Saat acara belum usai, aku sudah meninggalkan lokasi. Aku pulang, tidak tahan dengan keramaian seperti itu.


Di jalan, aku bertemu dengan Ifa dan ibunya, Ifa yang memanggilku duluan. Kamipun ngobrol-ngobrol sebentar. Ifa memberi tahu ibunya, kalau akulah yang menemukan e-KTPnya.


“terimakasih banyak nak, kalau sampai tidak ketemu saya tidak tahu harus bagaimana”


“sama-sama bu, kebetulan alamat ibu tidak jauh dari tempat saya menemukan e-KTPnya”


“kalau ibu boleh tahu, apakah nak emm.. siapa namanya?”


“Naya bu, nama saya Naya”


“oh iya, nak Naya apa benar temannya Rifa?, Ifa mengatakan kalau Rifa pernah mengantarkan nak Naya pulang?”


“Bukan teman bu, kami hanya pernah satu sekolah dulu, dan sebenarnya dia tidak mengantarkan saya pulang waktu itu”


“tidak diantar? Lalu ?”


“maaf bu, ibu bisa bertanya pada anak ibu sendiri. Permisi”


Aku bergegas pergi dari situ, tidak mungkin akan kuceritakan apa yang terjadi di taman itu. Kenapa harus Rifa dan Rifa yang menjadi beban bagiku, seandainya dia tidak tahu perasaanku terhadapnya, maka aku tidak akan tertekan seperti ini. Mengapa dia mesti memberitahuku bahwa dia tahu tentang perasaanku.


Di rumah segera aku ambrukan badan ini ke sofa, karena memang sudah sangat lelah.


“loh sudah pulang tho kamu? Sana makan dulu”. Ucap ibu keluar dari dalam, mungkin dari dapur.


“iya bu”. Aku masuk ke dapur umtuk mengambil makan dan melahapnya.


“nayaa…”. Teriak ibu memanggilku.


Aku keluar menemui ibu di ruang tamu dan melihat ada Yoga duduk di sana.


“ini teman kamu datang”. Ibu masuk ke dalam meninggalkan kami, akupun duduk di sofa berhadapan dengan Yoga.


“kau? Kenapa bisa tahu rumahku?”


“apa aku tidak boleh mampir?”


“itu tidak menjawab pertanyaanku, dari mana kau tahu alamat rumahku”


“aku mengikutimu, aku selalu mengikutimu dari dulu”


“dari dulu? Dari kapan itu? dan mengapa kau baru muncul di rumah ini sekarang?”


“dari kita msih satu kelas, dari rumahmu masih di Panjunan, Wergu dan sekarang di sini, aku selalu mencari tahu dengan mengikutimu, apa aku salah?”


“kau? Kenapa kau lakukan itu? apa alasanmu? Apakah aku penjahat di matamu?”


“dengar Naya, dengar aku sungguh ingin…”


“ingin apa? Kau ingin apa dariku sehingga selalu mengikuti aku?”


“aku ingin.. ingin jadi temanmu, teman dekatmu. Boleh?”


“bodoh, kita sudah berteman dari kelas tujuh. Kau tidak perlu memintanya seperti itu”


“bukan seperti itu, kelas tujuh itu kita hanya saling tahu”


“iya kita saling tahu, dan itu cukup untuk mewakilkan kita menjadi teman”


“jangan dingin seperti itu kumohon, sedikitlah bersikap hangat pada orang”


“jangan menasihatiku!”. Aku mulai kesal padanya.


“baiklah, jadi aku boleh menjadi teman dekatmu, ingat dekat bukan teman yang hanya sekedar tahu”


“terserah”


Semenjak itu Yoga selalu datang ke rumahku, dia mencoba mengakrabkan diri kepadaku. Entah mengapa akupun mulai terbiasa dengan dirinya, sikap dinginku hilang terhadapnya. Akupun mulai sedikit lupa tentang Rifa. Lagipula sekarang aku bekerja di tempat yang sama dengan Yoga, kami semakin dekat saja. Banyak karyawan di tempat kerja mengira kami ini pacaran meski aku sudah mengatakan tidak ada hubungan yang lebih dari aku dan Yoga selain sebatas teman. Yogapun juga menjelaskan pada mereka bahwa kami teman.


**3 tahun kemudian**


Sepulang kerja, Yoga mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Dia mengajakku pergi ke sebuah taman kota, karena dia memohon akupun mau saja. Di sana kami berdua duduk pada sebuah kursi panjang memandang keramaian jalan raya.


“nay?”. Yoga menyebut namaku lembut dan terdengar aneh bagiku.


“iya ada apa?”


“salahkah jika seseorang mencintai begitu lama?”


“tidak, semua orang berhak untuk itu”


“menurutmu lebih baik diutarakan atau dipendam?”


“kalau berani utarakan ya utarakan, kalau tidak jangan”


“kalau diutarakan terus hubungannya menjadi buruk gimana?”


“setidaknya mencoba”


“apa kamu pernah mencintai seseorang?”


Pertanyaan Yoga langsung membuatku teringat pada sosok Rifa, meski sudah sangat lama tidak bisa kupungkiri aku tetap ada rasa padanya.


“aku pernah mencintai seseorang yang tidak mencintaiku, dan aku memutuskan untuk melupakannya”


“sekarang sudah lupa?”


“sudah agak lupa, kenapa? apa kamu sedang jatuh cinta?”


“bukan sedang lagi, tapi cintaku ini sudah sangat lama kupendam”


“kalau begitu utarakan saja”


“bolehkah?”


“kenapa tidak”


“AKU MENCINTAIMU”


Aku kaget mendengar kalimat itu, apa Yoga sedang bercanda padaku apa dia hanya ingin membuatku ge-er saja.


“siapa yang kau cintai?”


“kamu, Naya safira”


“ehh.. emm kenapa bisa aku?”


“entah, aku tak punya alasan mencintaimu, rasa ini datang begitu saja dari kelas tujuh”


“eh aku emm aku “. Aku tidak tahu mesti bicara apa kepadanya.


“kau tak perlu menjawabnya kok, karena aku sudah cukup senang bisa menjadi temanmu. Aku tidak ingin setelah aku mengatakannya kamu akan menjauh dariku”


Yoga, dia mencintaiku lebih lama dibanding aku mencintai Rifa, sedangkan Rifa justru menyuruhku untuk melupakannya. Aku harus bagaimana sekarang, aku tidak bisa mencintai dua orang dalam satu waktu. Yoga begitu baik kepadaku, dia tidak pernah mengecewakanku, tapi bagaimana dengan Rifa.


“Yoga, aku akan menjawabnya besok, bisakah kau memberiku waktu?”


“tentu Naya, tentu”


Yoga mengantarkanku pulang ke rumah, dia juga sopan terhadap orang tuaku. Ah.. andai Rifa adalah Yoga. Di dalam kamar aku terus berpikir bagaimana aku menjawab perasaan Yoga. Kalau aku terus menunggu Rifa dan tidak bisa menerima orang baru di hatiku, itu sama saja menunggu hal yang tidak mungkin. Aku akan mencoba mencintai Yoga, lagi pula dia begitu baik kepadaku, iya, akan kucintai Yoga sepenuh hati dan perlahan akan kulupakan si Rifa.


Keesokannya Yoga menjemputku untuk pergi kerja, dia bersikap seperti biasa, justru aku yang agak kikuk sendiri. Sepulang kerja aku memberanikan diri untuk mengatakan padanya, kalau aku akan mencintainya. Dia tersenyum, aku melihat senyumnya dan aku tersadar bahwa senyum Yoga sangat manis. Kamipun mulai menjalani hari-hari sebagai sepasang kekasih, dia membuat hariku penuh warna. Aku benar-benar terlupa oleh Rifa.


“bu aku pergi sama Yoga dulu ya”. Aku berpamitan kepada ibu.


“sebentar, Naya ibu mau bertanya penting”


“iya ada apa bu?”


“kamu tidak sedang pacaran dengan Yoga kan?”


“ke.. kenapa bu?”


“pacaran atau tidak?”


“iya bu, ibu juga suka dengannya kan?”


“ibu suka, tapi kamu tidak boleh pacaran dengannya”


“tapi kenapa? Aku mencintai Yoga bu, dan dia mencintai aku. Apa yang salah?”


“malam ini akan ada tamu, dan dia akan menikah denganmu”


“apa? Jadi ibu dan ayah mau menjodohkanku? Tidak ! aku tidak mau”


“maaf ibu baru memberi tahumu sekarang, tapi ini sudah terlanjur”


“tidak!!!”


Aku berlari keluar menemui Yoga dan segera menyuruhnya membawaku pergi dari rumah. Yoga berhenti di taman kami biasa mengobrol.


“ada apa? Kenapa kamu begitu kesal tadi?”


“aku tidak mau di jodohin, aku tidak mau”. Aku mulai cengeng di hadapannya.


“siapa yang mau jodohin kamu?”


“orang tuaku”


Kulihat wajah Yoga menjadi sedih begitu mendengar kabar perjodohanku, tapi dia tidak bisa membantuku keluar dari permasalahan.


“Yoga?”. Aku menatap wajahnya, mataku mulai berkaca-kaca. Dia menatapku penuh kasih dan terlihat jelas ada rasa takut di raut wajahnya.


“Naya, izinkan aku meminjamkan dadaku untukmu menangis”.


Yoga merangkulku, dan aku menangis dalam pelukannya. Kali pertamanya aku menangisi seseorang pria selain Rifa, dan kali ini aku sangat tulus.


“Nay, kalau aku tidak bisa menikah denganmu, izinkan aku memberi ini untukmu”. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil berbungkus kain merah kepadaku, sambil menghapus air mataku. “buka ini di rumah saja ya”. Aku mengangguk, dia mengantarkanku pulang.


Benar juga, malam harinya ada tamu datang, aku mendengarnya dari dalam kamar. Entah siapa yang akan dijodohkan denganku, aku hanya ingin Yoga. Aku akan membuka kotak yang diberikan oleh Yoga kepadaku, namun aku belum sempat mengetahui isi di dalamnya.


“Nay keluar cepat”. Ibu memanggilku.


Dengan malas akupun keluar menuju ruang tamu. Aku berhenti dan melihat siapa yang akan di jodohkan dengan aku, dan betapa terkejutnya aku melihat dia. Dia kenapa dia? Dia juga menatapku kaget.


“Naya duduklah”. Perintah ayah padaku.


“Naya ini nak Rifa yang akan di jodohkan denganmu, dan nak Rifa perkenalkan ini Naya.”


“eh nak Naya bukankah  kalian berduakan sudah saling tahu? Ini pertanda bagus”. Ibunya Rifa angkat bicara.


Aku dan Rifa saling menatap, mungkin yang dia pikirkan saat ini sama dengan yang kupikirkan.


“maaf, boleh saya mengobrol berdua dengan Naya?”. Rifa meminta izin pada para orang tua.


“tentu boleh”. Sahut ibuku.


Rifa menggandengku keluar rumah, aku ikut saja padanya.


“Naya apa kamu tahu tentang perjodohan ini?”


“tidak, aku tidak tahu sama sekali. Apa kamu tahu?”


“kalau aku tahu yang akan dijodohkan denganku adalah kamu, maka aku tidak akan memintamu untuk melupakanku”


“jadi kamu tahu kalau kamu akan dijodohkan? Tapi kamu tidak tahu siapa yang akan dijodohkan denganmu?”


“dulu orang tuaku memintaku untuk tidak jatuh cinta, dan tidak boleh disukai perempuan karena kelak aku akan dijodohkan dengan anak perempuan dari sahabat ayah, makanya aku melarangmu”


“oh”


“apa kamu sudah melupakanku?”


“eh, memangnnya kenapa kau menanyakan itu?”


“tidak, sebenarnya aku dulu sangat senang mengetahui kau mencintaiku. Karena aku juga mencintaimu. Aku tidak ingin kau kecewa makanya aku melarangmu mencintaiku”


“apa? Kau.. kau mencintaiku? Sejak kapan?”


“sejak kita berada di ruangan yang sama saat ujian berlangsung”


“kenapa bisa?” aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakannya, itu di luar dugaanku.


“apa aku salah?”


“tidak keadaan yang salah, maaf saat ini hatiku sudah tidak berpihak kepadamu”


“kamu sudah tidak mencintaiku?”


“iya tidak lagi”


“maaf, itu semua kesalahanku”


“tidak, kau tidak salah. Sekarang aku tidak menginginkan perjodohan ini. Sekalipun itu denganmu. Bisakah kau berbuat sesuatu?”


“berbuat apa? Selama ini kalau aku berani berbuat maka aku tidak akan memintamu untuk melupakanku”


“jadi saat ini kau mencintaiku?”


“iya aku masih mencintaimu”


“kau terlambat Rifa, kau sangat terlambat untuk itu”


“tapi kita akan menikah, kita dijodohkan Naya”


“aku tidak setuju dengan perjodohan ini”. Aku pergi meninggalkan Rifa dan masuk ke dalam ruangan.


“Maaf semuanya, saya tidak bisa menerima perjodohan ini, permisi”. Aku lari ke luar rumah dan tidak tahu harus kemana, yang kutahu adalah lari saja dari rumah. Aku berhenti di pinggir jalan, duduk di sebuah halte sambil menangis.


Kenapa Rifa, kenapa baru sekarang, kemana saja selama aku masih mencintaimu. Kini kau datang ketika ada hati yang lainnya. Aku tidak bisa meninggalkan Yoga yang selalu ada untukku, Yoga aku mencintainya lebih saat aku mencintai Rifa.


“Nay..”. seseorang memegangi bahuku.


“Yoga?, kenapa kamu bisa di sini?”


“setelah aku mengantarmu pulang, aku masih berada di sekitar rumahmu. Aku juga ingin tahu proses perjodohanmu itu”


Aku langsung memeluk Yoga dengan erat, aku tidak ingin kehilangan dirinya.


“Naya, kau boleh bersikap dingin kepadaku lagi, kau boleh kembali seperti dulu dan menjalin cinta dengan orang yang selama ini sudah kau cintai, aku tahu aku sudah mendengar semuanya di rumahmu tadi”


“jangan berkata seperti itu, aku hanya mencintaimu saat ini. Kalau kau melarangku maka kejadiannya akan sama dan aku tidak akan bisa mencintai dua kali terhadap orang yang sama”


“maaf Nay, tapi sekarang bagaimana?”


“pertahankan aku, maka semuanya akan baik-baik saja”


“bagaimana dengan dia?”. Yoga menunjuk ke arah Rifa yang berada di seberang.


Aku menoleh melihat ke arah Rifa, dia berjalan menuju ke arah kami.


“Naya ikutlah denganku kembali ke rumahmu”. Rifa menarik tanganku dan membawaku pergi. Aku mencoba menolaknya, begitu juga Yoga.


“Naya harus ikut aku, dan kalian akan bisa bersama”.


Mendengar itu Yoga melepaskan tangannya dari tanganku dan membiarkan aku pergi dengan Rifa.


Di dalam rumah kulihat wajah panik dari kedua orang tua kami.


“maaf membuat kalian khawatir”. Aku menunduk menghampiri ibuku dan memeluknya.


“kami berdua tidak cocok, jadi lebih baik perjodohan ini dibatalkan saja”. Rifa angkat bicara.


“tidak cocok bagaimana Rifa?”. Kali ini yang bicara ibu Rifa.


“ibu, dulu ibu melarangku untuk tidak mencintai dan tidak boleh dicintaikan? Aku mencintai Naya dulu, dan diapun mencintai aku. Aku melarangnya untuk mencintai aku karena aku tidak tahu dia yang akan dijodohkan denganku. Dan saat ini Naya sudah memiliki cinta yang baru dan mereka saling mencintai. Begitu juga aku, aku.. aku tidak lagi mencintai Naya”. Rifa menunduk setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Dia berbohong, aku tahu dia sedang berbohong.


“jadi begitu, baiklah sepertinya mereka tidak perlu dijodohkan”. Ayahku mengambil keputusan.


Aku tersenyum bahagia, Rifa membuat senyuman palsu di hadapan kami. Aku menghampiri dan memeluk Rifa.


“Terima kasih”. Kubisikan kalimat ini pada telinganya.


^TAMAT^